Minggu, 30 Maret 2014

CERPEN FIRMAN NOFEKI DI KORAN SINGGALANG 31 MARET

TANAH MAKAM

Telah memasuki hari kedua tersiar kabar kematian anak­nya di kota. Namun Wan Pito masih sempat melakukan aktifitasnya seperti biasa. Setelah selesai menyabitkan rumput  untuk kerbau-kerbau nya, ia masih sempat turun kesawah siang ini. Memanen padi juragan Tohang yang dititipkan tempo hari. Begitu pula dengan istrinya, Sulastri. Semenjak ayam berkokok tadi pagi, ia telah sibuk meneteng sayuran kepasar. Bukan kare­na kedua orang tua itu tidak punya uang untuk berangkat ke kota, sekedar melayat dan mengurus jenazah anak laki-laki semata wayangnya itu. Apalagi untuk membawa jenazahnya pulang untuk dimakamkan di tanah dimana ia dulu dilahirkan, seperti yang diminta Salsabila, me­nan­tunya, yang tiada lain istri dari anak laki-lakinya yang sekarang telah meninggalkan dunia. Sungguh tidak mung­kin. Ada semacam peristiwa kelam masa lalu yang mene­lan bulat-bulat hati kedua orang tua itu untuk membawa jenazah anak laki-laki nya itu pulang kekampung halaman.*

Angin berdesau lembut petang itu. Satu persatu para pelayat telah meninggalkan rumah Salsabila. perlahan, suara mulut yang berdecak membicarakan jenazah sua­minya tidak lagi terdengar, seiring dengan melenyapnya suara langkah-langkah kaki di halaman. Namun pro dan kontra atas jenazah Samiri, suaminya, masih meletup-letup seperti hendak meledak saja. Tidak sedikit yang meng­gulirkan komentar-komentar miring.


“Kasihan ya Samiri. Hidup sudah di uji, matipun di uji juga”
“la, itu teh wajar atuh, nikah saja tidak direstui orang tua, masuk kenegeri orang tidak mematuhi peruman adat pula. Itu sudah hukuman dari roh leluhur karena ia masuk kekampung ini tidak melakukan pemurnian darah terlebih dahulu”

Pemurnian darah yang mereka maksud adalah seo­rang laki-laki baru bisa dika­takan bebas dari tuntutan peruman adat jika ia telah melakukan ikatan darah dengan gadis dikampung tersebut, alias ia harus meni­kah dengan kadis dikampung itu, kampung Rejo. Kalau tidak, maka ketika ia telah meninggal dunia maka jena­zahnya harus kembali dipu­langkan ketanah asalnya. Tapi bagaimana mungkin ia sebagai gadis minang, yang telah mati-matian memper­tahankan cinta mereka sam­pai harus terusir dari kampung halaman begitu saja mere­lakan suaminya bermadu dihadapannya.

Namun, ingin rasanaya Salsabila menyumpal mulut orang-orang yang berkomentar miring seperti itu. Kalau saja ia tidak ingat sedang berada dihadapan peti jenazah sua­mi­nya, mungkin jari-jari tangannya telah beralih men­cakar muka orang-orang terse­but. Tapi tentu ia masih orang yang punya rasa malu dan harga diri. Tidak ingin ia merendahkan dirinya dihada­pan jenazah suaminya, sekali­pun ia telah tiada.
Diantara yang lain, ada juga yang menyuguhkan ko­men­tar positif dan ikut mem­berikan solusi jalan keluar.

“Sabar ya Bil ! ini teh ujian dari gusti Allah. Nanti kami akan coba membantu berunding dengan tetua adat agar suamimu bisa diizinkan dimakamkan dikampung kita ini”.
Salsabila hanya tersenyum tipis. Sekalipun ia juga ber­harap demikian, namun disisi lain hati terdalamnya ia mengeluh,’’itu tak akan mung­kin terjadi.

Ada juga yang mengu­sulkan jenazah suaminya dikubur dipemakaman umum saja. Tapi ia sadar biaya membeli sepetak tanah ma­kam dipemakaman umum bisa mencapai puluhan juta. Tentu ia tidak mempunyai uang untuk itu. Apalagi yang letaknya jauh kepusat kota, tentu membutuhkan proses yang rumit dan panjang.*

Sekarang jenazah ditengah rumah itu benar-benar telah kehilangan pelayatnya. Cuma air mata Salsabila dan suara bacaan Yasinnya yang setia melayat. Dibelakang, ada Poniem, teman baiknya yang setia membantu menyiapkan segala sesuatu keperluannya. Poniem yang awalnya bukan siapa-siapa telah dianggap malaikat oleh Salsabila. Ia dan suaminya semula tidak punya tempat tingal dikota, lewat Poniem lah rumah petak kecil yang semula ruko ini dikontrakkan untuk mere­ka.

“Sudah kau coba hubungi lagi keluarga di kampung bil?”
Poniem yang sedari tadi dibelakang tiba-tiba saja sudah berada disamping Salsabila.

“sudah kak”.

“lalu apa tanggapan mere­ka?”

Usai poniem bertanya demikian ada yang berubah dengan reaksi Salsabila. Cuma gelengan pelan yang ia berikan sebagai jawaban. Poniem yang sangat mengerti dengan maksud gelengan itu tidak berani lagi melanjutkan pertanyaan. Sunyi yang sedari tadi pias berganti sedu sedan. Salsabila merunduk. Kedua tangan ia tangkupkan kewa­jah. Seolah ia tidak lagi punya muka untuk dihadapkan kepada jasad suaminya.

“aku tahu, hukum adat terkadang memang kejam, Bil”. Bahkan mampu bertahta diatas hukum agama. Berdo’­alah ! semoga tetua adat dan orang-orang kampung ini dibu­kakan hati mereka”, ujar Poniem sambil terus setia tangannya mengelus punggung sahabatnya itu.

Namun kesedihan yang sa’at ini ia alami telah mem­basahi puncak kesabarannya. Tak ia pedu­likan lagi keadaan yang sekarang memukulnya. Tak ia hiraukan jenazah Samir yang terbujur kaku dihada­pannya “ini salahku, kak ! kalau saja dulu aku tak memaksanya untuk menga­winiku, kalau saja dulu aku tak memenuhi keinginan untuk kawin lari bersamanya, tentu akan banyak tanah makam yang setia menjadi tempat peristirahatan tera­khirnya”. Seluruh kalimat yang terlontar berpadu sedu sedan dan air mata. Ditepis­kannya pelukan poniem dari bahunya, dan berlari ke ka­mar.

Poniem yang tidak me­nyang­ka akan begitu reaksi Salsabila berusaha mengi­kutinya. Suara pintu yang dibanting memotong langkah­nya, ia hanya berdiri di depan pintu kamar yang sudah dikunci dari dalam.

“Bil, bukan air mata dan sesal yang diharapkan sua­mimu, namun kesabaran dan ketegaran hatimu yang ia butuhkan”. Poniem mencoba menasehati. Namun sia-sia. Salsabila telah membawa rasa sesal dan kesedihan itu kembali kemasa lalunya.*

Tepat 10 tahun silam, bibit-bibit cinta itu telah menemukan ladang nya, dan bersemi. Namun bagi masya­rakat kampung, terutama ayah salsabila sebagai peng­hulu adat, cinta mereka ada­lah musibah.

“bagaimana ini bisa terja­di ? adat diletakkan sebagai hukum utama. Tetua adat selalu menggunakan hukum adat  untuk menghantam warga pelarian seperti dirinya. Diminang ataupun disini sama saja. Adat digunakan sebagai pelarian dari hukum syari’at.”, ujarnya dalam hati.

Masih kental di iingatan Salsabila bagaimana ayahnya yang seorang pemimpin adat bercekok lidah dengan kelu­arga Samiri sebab keinginan mereka untuk menikah. Terus terang ayahnya yang seorang pemim­pin adat begitu menen­tang, dan mencap pernikahan mereka akan menjadi kutukan bagi generasi berikutnya. Kecuali kalau Samiri mampu menyem­blih seekor kerbau putih, yang darahnya dianggap sebagai pemurni hukum dan penebus kutukan bagi ketu­runan.  Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang perkawinan sesuku adalah hal yang sangat dilarang di mi­nang­kabau.

Dikampungnya ada sebuah cerita yang sangat popular. Cerita tentang sumiran dan saritem yang berani menikah sesuku. Sehingga setiap kali Saritem melahirkan anaknya selalu tewas menggenaskan . kata orang tua tua dimangsa Situah, harimau jadi-jadian yang amat popular di Minang­kabau.
Namun angin-angin cinta yang berhembus mesra dari sepasang hati dua sejoli itu sudah tidak dapat ditepiskan kedatangannya. Angin itu jualah yang bisa menggu­gurkan titah adat diladang cinta mereka. Dan angin itu jua yang telah melemparkan dua sejoli itu ke kampung Rejo ini. Sebuah kampung dipedalaman pulau jawa yang begitu tinggi menjunjung nilai-nilai estetika klasik titah nenek moyang yang masqul dihukum-hukum adat.

Salsabila mau tidak mau harus melepaskan keanggo­taannya sebagai putri tunggal Datuk Bandaro Basa. Kepu­tusannya untuk kawin lari dengan Samiri telah menyi­sakan dendam tersendiri dihati abahnya terhadap keluarga Samiri. Dendam pemimpin adat adalah den­dam turunan. Ia memakai tangan adat untuk melam­piaskannya kepada keluarga Samiri yang telah membawa kabur putri tunggalnya. Den­dam untuk tidak menerima kehadiran Samiri kembali di kampung ini. Sampai ia telah mati sekalipun.*
Ternyata perundingan dengan Empu Kromo hanya menghasilkan keputusan, bahwa jenazah suaminya itu harus segera dibawa pulang ke kampung halaman. Ia memberikan waktu tenggang satu hari lagi untuk prosesi. Salsabila sudah memohon agar titah adat dapat dipu­tihkan sehingga jenazah su­aminya dikubur dikampung Rejo ini saja. Namun Empu Kromo tidak menyahut.

“Saya tidak bisa seenaknya merubah aturan yang sudah berlaku. Ini sudah peruman adat. Salah suamimu sendiri kenapa dulu tidak mematuhi aturan adat kampung ini.” Ujar Empu Kromo dengan nada bicara yang menun­jukkan ketidak senangan dengan Salsabila.

Perkataan Empu Kromo itu seperti hendak menyun­tikkan amarah dilubuk hati­nya. Bagaimana mungkin dulu ia mengizinkan suami yang begitu dicintainya meni­kah lagi dengan perempuan kampung ini hanya untuk sebuah alasan yang ia anggap begitu tidak penting. Hanya untuk sebuah ritual pemur­nian hukum adat.
Salsabila merasa percuma berunding dengan orang seper­ti Empu Kromo. Seharusnya sebagai tetua adat tidak menjadi matoritas yang me­ne­kan kelompok minoritas seperti dirinya.*

Dan Ini tepat hari ke tiga kematian samiri. Pertanyaan risih tentang kapan jena­zahnya akan dikuburkan terus berdecakan dari mulut-mulut warga. Pertanyaan yang me­nambah lilitan-lilitan masalah difikirannya. Sebagai warga pelarian, Salsabila berfikiran adatlah yang selama ini men­jadi pemusnah tatanan sosial kehidupan. Bagaimana mung­kin seseorang yang tidak lagi bernyawa terus diikat raganya dengan hukum-hu­kum terse­but. Sanksi yang telah mem­perlakukan suami­nya secara hina. Sanksi yang seharusnya tidak lagi pantas ditegakkan pada jasad yang tidak lagi terikat dengan kehidupan dunia.

Diluar, rinai menghan­tarkan suasana makin cepat jadi gelap. Salsabila hanya terdiam, tak kuasa lagi menja­wab suara-suara putus asa dari hatinya. Kepalanya mulai terasa berdenyut. Ia beristighfar dalam hati. Rasa sedih dan dendam menelan bulat-bulat hatinya. Tanpa sadar tangannya telah meme­luk peti mati dihadapannya. Dalam peti itu sesosok tubuh kaku sedang menunggu nasib. Menatap rohnya yang terka­tung-katung dipintu langit. Dari tempat itu ia tentu maih bisa mendengar tangin penye­salan Salsabila.

“kasihan dirimu bang, kalau saja waktu serupa dalam dongeng-dongeng yang dibacakan orang tua kepada anak-anak mereka sebelum tidur, tentu aku akan meminta untuk kembali kemasa se­belum kau menikahiku.

Akan kupersiapkan terlebih dahulu sepetak tanah makam untuk­mu, untukku dan anak-anak kita”.*
Malam itu. Purnama me­nang­kap langkah seorang wanita yang berjalan mengen­dap menelusuri pekarangan masjid Babussalam. Kerudung putihnya menari diterpa angin. Cahaya purnama membingkai hitam bayang-bayang tubuh­nya. sekilas orang-orang akan berfikiran kalau seseorang yang berjalan tengah malam kearah masjid adalah mereka yang hendak melaksanakan Qiyamullail. Namun tidak sedikitpun terlihat pertanda bahwa perempuan itu hendak memasuki masjid. Ia memutar langkah ke arah belakang masjid. Menelusuri rumput-rumput liar yang menjulang hingga mata kaki. Langkahnya berhenti diatas sebidang kecil tanah kosong. Pandangan matanya tertuju pada cangkul dan sebuah bungkusan besar yang dari awal sudah berada disana. Dari penutup bung­kusan itu menjulur sebuah benda. Tangan manusia.*

Keesokan paginya warga desa Rejo digegerkan dengan peristiwa yang mereka anggap paling keji sepanjang manusia menghuni desa mereka. Dari ba’da subuh warga terus berdatangan memenuhi area masjid yang sudah diberi jalur kuning oleh polisi. Berawal dari laporan seorang jama’ah kepada Engku Kromo, berke­naan dengan bau busuk yang bersumber dari pekarangan dibelakang masjid. Seperti bau bangkai. Bangkai manusia, ujarnya.

Pekarangan kosong dibe­lakang masjid itu telah beru­bah sebuah gundukan. Bebe­rapa batang kamboja ditan­capkan disana. Tampaknya belum terlalu lama ditanam. Daun-daunnya pun tanpak layu dan berguguran ditanah.

Beberapa orang polisi mulai menggali. Diduga dari gundukan tanah itulah bau busuk dan menyengat itu berasal. Belum terlalu dalam menggali mata cangkul meraka menyentuh sebuah benda yang dibungkus rapat. Setalah diangkat bau busuk itu makin menyengat. Perlahan pengikat bungkusan itu dibuka. Terde­ngarlah suara mulut berdeca­kan menyebut nama Salsa­bila.
Empu Kromo terlihat begi­tu marah dan mengutuk. Ia memerintahkan kepada polisi untuk menangkap wanita yang telah menebarkan bau busuk sekaligus kutukan bagi desa mereka. (***)

SINGGALANG, 31 MARET 2013

Selasa, 25 Maret 2014

KATA-KATA MUTIARA

JENDELA JIWA

* menulislah dg kepolosan dan kejujuran hati, serta kesederhanaan pemikiran. itulah nyawa bagi mata pena. dan tinta akan memberikan sikap yg baik bagi kata-kata. (firman nofeki)

* pohon masalah selalu menyembunyikan buah yang manis. kadang kita harus menunggu buah itu matang dan jatuh agar dapat merasakan betapa manisnya ia. (firman nofeki)


 *jika kau telah berhasil menggapai mimpimu yg menggantung setinggi bintang di langit, jangan lupa menginjakkan kakimu kembali ke bumi. Biar kukatakan sebuah realita kepadamu, '' jatuhnya orang-orang besar karena kesombongan''. di langit apa yg ada di bumi memang terlihat begitu kecil, namun jauh di bumi kau tak beda jauh hanya tampak kerdil seperti sebutir pasir, bahkan lebih kecil. (firman nofeki)

*jangan suka meremehkan kelemahan orang lain. Sebab jika kata remeh anda itu menjadi kendaraan motivasi baginya, anda akan ditabrak oleh perkataan anda sendiri. (firman nofeki)

*waktu memang serupa air mengalir menuju ke satu muara yg sama, namun orang-orang yg berani berjalan menentang aruslah yg akan selamat menyeberang ke seberang. kita tidak pernah tahu dihitungan keberapa kita akan sampai, namun tidak perlu menunggu titik akhir untuk harus bahagia. nikmati setiap gelitik dingin airnya, resapi birama gemerciknya beradu batu2 sungai yg terjal, jalani setiap hitungan dan langkah dg kesyukuran, insya'allah kesedihan, kekecewaan, dan rasa putus asa akan larut terbawa arus air. (firman 
nofeki)

*memang tiada kata dua kali untuk kesempatan yang sama, namun Allah membuka beribu-ribu pintu untuk kesempatan baru. Hanya manusia yg lemah dan punya sifat putus asalah yg mengatakan ''kesempatan hanya sekali'', yang sekali hanyalah kesempatan utk hidup di dunia ini, namun ada banyak kesempatan dan cara utk membuat hidup ini menjadi lebih baik dan berarti. (firman nofeki)

*mungkin benar kata org2 kalau hidup itu adalah pilihan, namun tak ada yg pernah bisa memilih pada rahim siapa dan pada keluarga mana ia dilahirkan. Bamun kita telah menjadi orang yg telah dipilih untuk hidup, mengarungi kehidupan ini dengan perjuangan, keikhlasan dan kesyukuran. hidup mungkin memang pilihan kawan, namun pilihan bagaimana nanti engkau dikembalikan, ''syurga, atw nereka'', dunia inilah tempat memilihnya (firman nofeki)

 

Minggu, 23 Maret 2014

LAILA MAJNUN (PUISI INI TERINSPIRASI DARI NOVEL ''LAILA MAJNUN'')

MATA LAILA




''ini adalah sehelai kertas kesedihan, yang ditulis oleh jiwa yang dipenuhi duka cita kepada jiwa yang lainnya.
ia datang dariku, seorang tawanan, dan ditujukan kepadamu, kau yang telah berhasil menghancurkan belenggumu dan meraih kemerdekaan.
sudah berapa lamakah kekasihku, aku mengikat tali cintaku kepadamu? berapa banyak hari-hari yang tanpa makna? berapa banyak malam yang dilalui dengan air mata semenjak itu?
apa kabarmu wahai belahan jiwa? dan bagaimana kau melewati hari-hari mu? kemanakah ketujuh langit penuntun di langit telah membawamu? aku tahu bahwa kau masih tegar berdiri menjaga harta persahabatan kita. Dan kurasakan di dalam hatiku bahwa cinta memperoleh keagungannya semata-mata darimu''

(surat Laila kepada Majnun)


serupa balasan surat mu, Laila
aku awali sajak ini dengan menyebut nama Sang Raja
demih roh, hati dan cintaku yang ada dalam genggaman-Nya
Dia yang telah menyandingkan kesunyian dengan kata
menyandingkan malam dengan gulita
menyandingkan rembulan dengan cahaya
sebab itu aku tak begitu heran, bila setiap memandangmu
gelap dan buta tercerai dari jiwa
sebab matamu, Laila
adalah perpaduan malam, rembulan dan cahaya
sepasang matamu, adalah jendela menuju jiwamu
sungguh aku begitu ingin mengintipnya
bermain dalam pusaran mata airnya

aku telah menari bertahun-tahun
di atas pecahan kaca dan bara
bersama melodi yang tersayat dari aliran darah
bersama genderang yang ditabuh tangan-tangan luka di bilik jantung
ini melodi penyambutan untuk mu, Laila
;sang malaikat maut yang sanggup mencabut kegelapan duka pada nyawa

peluklah kesendirianku, Laila
beri setitik arwah pada kematianku
agar aku mampu berjalan, mengantarmu pada kisah
bagaimana aku terdampar terlalu lama
menghitung tiap butir pasir di gurun ini
mencoba berdiri, kemudian terjerembab
menantang garangnya kerikil sahara menikungi mata kaki
melambai harapan pada hari depan yang setengah hati berdiri

dekap kesunyianku, Laila
beri sehembus nafas bagi jiwaku yang sakratul
agar ku mampu bercerita
;bagaimana cinta adalah api, aku adalah kayu yang lebur menjadi abu oleh nyalanya
lakukan ini untuk Tuhan
dan demi cinta kita kepada-Nya

jika kehidupan adalah takdir, Laila
mengapa takdir dan kehidupan tidak pernah sama?
disini kehidupan adalah kematian  bagi pengelana yang resah
menggali kubur bagi jiwa yang hancur, lemah, dan berdarah
sedang disisi lain, kematian adalah kehidupan
kehidupan adalah keabadian
tempat dimana tak ada cahaya yang akan memudar
tak ada kegelapan tempat ku biasa menatap matamu di balik jendela kedukaan
disanalah Laila
tempat kau akan terus bersinar
melenyapkan kedukaan hati dari jiwaku yang majnun ini

Padang, 27-12-13

Sabtu, 22 Maret 2014

ELEGI PATAH HATI

karya : firman nofeki



pada helai-helai angin yang kusut
tanganmu melipat waktu
sementara, selendangmu terbang menutupi matahari
siang terlambat pulang
malam yang tidur lupa cara berdiri
; mengemasi mimpi-mimpi
di langit kamar, kabut membuhul kelam di benang mata
sebab setiap sudut selendangmu, sayang
telah menutupi segalanya

dengan nyala sebatang lilin, kucari kota yang hilang
cahayanya menyisir tepian langit
mengurai langkahmu

kutemukan kota itu, menggantungi buhul hujan
derasnya menyentak pundak langit
langit rubuh, menghantak redam hati bumi

diantara langit yang retak, sayang
kau sandingi bintang-bintang
sedang aku, kau cemburui memacari matahari

payakumbuh 19-03-14

DARAH DAGING

karya : firman nofeki

(ibu
akulah daging dan darah yang pernah mengakar di pohon rahimmu)


diatas lautan darah, aku berlayar di rahimmu
di gelombang tubuhmu, ibu
kapal-kapal sejarah berlabuh mengangkut titah sulbi
tentang rahasia isi rahim, yang membawa kebahagiaan bagi tanah kelahiran

di tulang dadamu, ibu, ombak pasang surut
tubuhku terseret dan menemu sebuah pintu
                                                             yang kau sembunyikan di balik lorong waktu

di pohon rahim mu darah seakar dengan daging
mereka denyut yang hidup mengilhami titah jantung
besar dan tumbuh meretakkan dinding waktu

ditempat itu usiaku menetas
berumah di cangkang perutmu
mengunyah saripati hidup yang menempeli rahim serupa lumut

di tempat itu pula, ibu, jemariku menenung bulan-bulan
menjadi tangis kenakalan
penjenguk harumu yang berdiri di balik liang waktu
sa’at sejarah menepi, dan aku terlempar jatuh ke bumi
pernahkah kau ilhami tangis itu sebagai ungkapan hatiku
;akulah air kehidupan yang memancar dari sulbi
akulah darah dan daging yang pernah tumbuh dan mengakar di rahimmu

ibu

payakumbuh, 20-03-14