Rabu, 17 Desember 2014
LELAKI YANG MENIUP HUJAN
sesungguhnya, ini bukan tentang ''hujan yang menyala di matamu'' sayang, bukan itu
ini juga bukan tentang ''hujan yang jatuh tiba-tiba''
dan kita berlari berteduh di rongga ternyaman dari hati masing-masing
ini juga bukan tentang sajak yang ''setelah hujan reda'' ada pelangi melengkung indah antara hati hati kita
sekali lagi ini bukan tentang itu
semuanya telah engkau larutkan dalam sungai kenangan, bukan?
ini tentang hujan Desember yang begitu faham cara mengalirkan hangat masa kecil ke dalam gigil tubuhku
juga tentang malam yang membawa kado sepi
dan 20 batang hujan pengganti 20 nyala lilin yang mesti kutiup malam ini
sembari mengenang tahun-tahun yang disesap mulut-mulut sunyi
sayang
hendak aku khabarkan keadaan seperti apa yang begitu dalam melumat rongga dadaku
;( pada perahu usia,kulihat masa kanak-kanak melebur dalam kaabut-kabut purba
gelombang-gelombang harapan silih berganti menerjang kesepiannya
aku seperti terjerat jangkar takdir yang asing
sa'at mimpi melambungkan do'a-do'a ke sisi langit purnama
matahari mengisahkan indahnya rahasia-rahasia cahaya lusa
diam-diam ranting usia yang tidur dalam jasadku serasa berderak tiba-tiba)
sungguh, ini bukan tentang hujan yang menyala di mataku sayang
dan kau datang membawa sapu tangan untuk menepis abu gerimis dari wajahku
sekali lagi bukan itu
ini tentang hujan Desember yang mengisi lembar-lembar kosong diaryku
menjadi sajak-sajak muram yang mesti kutulis
mengapa kau tidak datang untuk sekedar melipat dan membuangnya
kemudian mengajariku merangkai kalimat ''selamat datang'' untuk hari yang berbahagia ini
menemaniku meniup 20 nyala hujan
memadamkan cahaya masa lalu yang nyala di mata dan sukmaku
16-12-1993
ini juga bukan tentang ''hujan yang jatuh tiba-tiba''
dan kita berlari berteduh di rongga ternyaman dari hati masing-masing
ini juga bukan tentang sajak yang ''setelah hujan reda'' ada pelangi melengkung indah antara hati hati kita
sekali lagi ini bukan tentang itu
semuanya telah engkau larutkan dalam sungai kenangan, bukan?
ini tentang hujan Desember yang begitu faham cara mengalirkan hangat masa kecil ke dalam gigil tubuhku
juga tentang malam yang membawa kado sepi
dan 20 batang hujan pengganti 20 nyala lilin yang mesti kutiup malam ini
sembari mengenang tahun-tahun yang disesap mulut-mulut sunyi
sayang
hendak aku khabarkan keadaan seperti apa yang begitu dalam melumat rongga dadaku
;( pada perahu usia,kulihat masa kanak-kanak melebur dalam kaabut-kabut purba
gelombang-gelombang harapan silih berganti menerjang kesepiannya
aku seperti terjerat jangkar takdir yang asing
sa'at mimpi melambungkan do'a-do'a ke sisi langit purnama
matahari mengisahkan indahnya rahasia-rahasia cahaya lusa
diam-diam ranting usia yang tidur dalam jasadku serasa berderak tiba-tiba)
sungguh, ini bukan tentang hujan yang menyala di mataku sayang
dan kau datang membawa sapu tangan untuk menepis abu gerimis dari wajahku
sekali lagi bukan itu
ini tentang hujan Desember yang mengisi lembar-lembar kosong diaryku
menjadi sajak-sajak muram yang mesti kutulis
mengapa kau tidak datang untuk sekedar melipat dan membuangnya
kemudian mengajariku merangkai kalimat ''selamat datang'' untuk hari yang berbahagia ini
menemaniku meniup 20 nyala hujan
memadamkan cahaya masa lalu yang nyala di mata dan sukmaku
16-12-1993
Kamis, 21 Agustus 2014
LELAKI YANG MENUNGGUI KEBAHAGIAAN KELUAR DARI PINTU SYURGA
dengan dorongan langkah ia melampaui zaman-zaman
musim-musim melambai, waktu-waktu berpasung di kakinya
lelaki itu, berjalan untuk mengetuk rahim fajar yang menelurkan subuh
di embun matanya, Dik, kabut memekat dan larut
membanjiri cakrawala
lelaki itu melangkah di atas arwah peradaban yang tertidur di kaki akar
satu tetes keringatnya menjadi lautan
dimana sampan-sampan sejarah merangkak di punggungnya
setetes darahnya membentuk pulau-pulau
kerinduan karam, kesepian terdampar
kepergian setelah kedatangan silih berganti membangun pusara di atas ubunnya
sebuah jejaknya berubah jembatan
tempat kematian menyeberangi kehidupan
kebahagiaannya tak mendapat musim untuk kembali
serupa darah mengalir tak pernah balik ke liang nadi
ia lelaki yang tersesat di liang rahim, alam menelurkannya ke bumi
dierami di bawah panasnya bangsal-bangsal peradaban
ia menetas dan berumah di cangkangnya
melewatkan usia dalam bayangan hampa
lumut-lumut menjalar mengakari ingatan
keganasan bumi adalah jejak yang terekam
lelaki itu, dik, dengan kegersangan langkahnya ingin menghidupkan musim semi
berdiri senyiur pohon-pohon, menunggui cuaca menjatuhkan buah
agar tanah tak lagi sunyi
lelaki itu, dik, dengan kekeringan matanya ingin melayarkan perahu-perahu
mencari bayangan ayah-ibu yang termakan abad
serupa kematian berdiri di atas kepala, demikian harapan dibangun
hingga lumut mengakari daging
lelaki itu merindukan dua belah sayap jatuh disisi punggungnya
terbang, menunggui kebahagiaan keluar dari pintu syurga
payakumbuh, 17-03-14
Rabu, 20 Agustus 2014
KETIKA PENA JATUH CINTA PADA KATA-KATA
* engkaulah arakan awan-awan yang menjatuhkan hujan kesejukan
akulah yang senantiasa menyimpan rintiknya
mengalirkannya kedalam anak-anak sungai jiwa yang tenang
― firman nofeki
* Dikota paling rindu itu,Ningtyas
malam senantiasa menjatuhkan pejammu di mataku, mencuriku diam-diam dari mimpi, kemudian menidurkanku diatas bantalan lembut hati.
kau perempuanku, jangan tutup pejammu aku takut pada bangun, yang kan membuatmu jatuh kedalam selaput rapuh kabut pagi
― firman nofeki (dalam puisi Ningtyas)
*“hanya dia yang berasal dari tulang rusukku lah kelak yg bisa merawat hati ini. sebab dialah yang pernah bersemayam dekat dengan detaknya.”
― firman nofeki
* “keringat dan air mata adalah anak sungai yg akan terus mengangkut sampan impianku. Diatasnya, akan kutompangkan impian-impian manis banyak orang. Sebab sampan ini terlalu luas jika hanya dihuni impianku sendiri”
― firman nofeki
* “jika puisi tak jua mampu mewakilkan perasaanku padamu, kekasih
biarlah kuhantarkan dengan do'a-do'a yang kutompangkan lewat kereta Tuhan dimalam-malam buta
biarlah kuwakilkan lewat sampan-sampan yang berlayar diatas genangan air mata munajat”
― firman nofeki
KETIKA PENA JATUH CINTA PADA KATA-KATA
* Assalamu'alaikum rindu
semoga Allah senantiasa meletakkan tangan pelindungNYA untuk menjagamu, dari kejahatan kesedihan yg senantiasa menyinggahimu
_firman nofeki
* mungkin hari ini aku adalah bahagian terburuk dari mimpi
namun hidup harus tetap menyala, meski perih kusirami dengan air mata sendiri
_firman nofeki
* engkau laksana sajak yang tak kunjung selesai. dengan begitu saya tidak akan pernah meninggalkanmu
_firman nofeki
* aku masih terus mengingatmu, dan membiarkan kenangan itu lesap menguap kedalam lapisan hari-hari.
agar disetiap pagi, kenangan tentangmu kembali mengembun difikiranku. meluruhkan semua rasa itu, utuh dan putih _firman nofeki
* aku akan pergi ke kota paling rindu itu, ningtyas
kota yg tidak memiliki gigil dan hujan
sebab angkasa dan langit-langitnya adalah bayanganmu _firman nofeki, penggalan puisi Ningtyas''
* jika yg engkau miliki adalah cinta mati, maka hatiku adalah makam yg tepat untuk mengbadikan jasadnya _firman nofeki
* rindu adalah mahkota kebesaran yg kukenakan, berharap kamu dapat mengenaliku dari kejauhan.
padamu, apa yg kusebut sebagai cinta tak lebih tegar dari setetes embun yg berhastrat meretaki bebatuan, tak lebih khusyuk dari do'a-do'a yg kuisyaratkan dalam munajat-munajat hening pengharapan
_firman nofeki_
Selasa, 19 Agustus 2014
TERUNTUK AKU DAN TUHAN
TERUNTUK AKU DAN TUHAN
Enam bulan sesudah grup tarinya
bubar, Nani belum memutuskan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Saban
petang, sebelum matahari tergelincir di barat, ia masih setia
menyusuri jalan setapak yang mendaki. Melintasi rimbunan alang-alang yang
sebelumnya tak pernah tumbuh disana, untuk kemudian tiba disebuah bangunan kayu
beratap rumbia, berlantai bambu tanpa dinding yang menutupi. Ditempat itulah
dulu ia menghabiskan hari-hari untuk berlatih menari. Dulu sebelum petang
tiba, tabuhan suara gendang, gamelan, dan hentakan kaki para penari yang
diiringi menjadi cara tersendiri bagi Nani dan teman-teman nya untuk sekedar
menikmati keindahan alam ini.
Kadang ia membayangkan dirinya tengah berada disebuah gedung festival seni yang
megah. Bergabung bersama seluruh penari-penari dari mancanegara. Menunjukkan
pada dunia bahwa indonesia juga memiliki beragam tarian tradisional yang luar
biasa. Mungkin tidak kalah hebatnya dengan Gangnam style ataupun Harlem shake
yang sekrang begitu tenar dikalangan masyarakat. Menurutnya tidak sedikitpun
mengandung nilai-nilai estetika.
‘’Aku mestinya sudah menari
diluar negeri !’’ selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu.
Kemudian ia akan menari sendirian. Merasakan kembali berada ditengah-tengah
Wiwit, Hanum, dan Helia yang tiada lain adalah teman-teman sesama menari
dahulu. Mereka yang satu kampung tergabung dalam sebuah grup tari yang mereka
beri nama ‘’Kaki Bumi’’ ditemani beberapa orang pemain alat musik daerah dari
kampung mereka. Disini.
Dipentas kayu sederhana ini dulu mereka sering belajar gerakan-gerakan
baru. Nanilah sosok yang paling antusias memperagakan setiap gerakan-gerakan
baru yang ia ciptakan sendiri.
‘’coba
kalian lihat gerakanku yang ini ! ini perpaduan Reog Ponorogo dengan tarian
Pagean Bali’’. Ia berputar-putar sembari memegangi ujung-ujung selendangnya
dengan jari telunjuk dan jempol saling mengatup. Satu kaki ia jinjitkan sambil
terus memainkan selendang biru tua yang berkibar dihembus angin petang yang
bergerak semilir.
‘’plok..plok...plok..
kamu memnag hebat’’, ujar seluruh penari lain. Kemudian mereka akan meminta
Nani untuk mengajarkan mereka.
Perlahan air matanya turun menyapu rona merah diwajahnya. Kemudian berderai satu-satu
kelantai, membentuk genangan kecil yang tak beraturan. Kerinduan akan
kebersamaan mereka seperti meledak-ledak. Perempuan bertubuh sedang itu
tersedak.
Dipejamkannya matanya. Diingatnya kembali semua
gerakan-gerakan indah yang pernah mereka mainkan disini. Tiada lagi suara
iring-iringan gamelan dan gendang yang ditabuh. Cuma angin yang menciptakan
irama kegetiran disetiap gerakan tariannya. Dalam hati ia terus membatin. Ia
akan terus menari, sekalipun tiada orang lain yang peduli. Ia akan terus menari
meski hanya untuk dirinya sendiri, dan untuk Tuhan yang telah memberikannya
mimpi yang terus menari-nari dikedalaman hati.
*
Dulu, Nani sungguh menikmati hari-harinya. Bila
pagi tiba, ketika matahari sepenggalah tingginya, ia bersama rombongan yang telah
menunggunya disanggar berangkat memenuhi undangan mengisi acara hajatan atau
festival menari. Ia dan beberapa penari lain, ditemani para penabuh gendang,
gamelan dan para pemain musik lain berjejalan di bak truk yang mengakut mereka.
Biasanya mereka akan bernyanyi lagu-lagu daerah ditemani dentuman-dentuman
gendang dan gamelan hingga ditempat tujuan.
Honor dua ratus lima puluh ribu dibagi dengan
lima orang penari dan empat orang pemain musik harus ia jalani empat tahun
belakangan ini. Semenjak ayah dan ibunya meninggal ia telah diwarisi wewenang
untuk melestarikan budaya yang terus diwariskan dari keluarga turun temurun.
Menjadi penari tarian tradisional. Kehidupan paman dan bibinya yang hanya
digantungkan pada sawah dan kebun pisang tidak terlalu mampu memenuhi kebutuhan
Nani.
‘’Zaman mungkin telah berubah, fanatisme
terhadap budaya lokal mulai terpupus dari ingatan masyarakat. Namun kita menari
untuk melestarikan budaya bangsa kita. Cukuplah Reog Ponorogo yang hampir lepas
dari tangan bangsa ini’’, ujar nani suatu kali sepulang dari memenuhi hajatan
untuk menari dikampung sebelah. Matanya terus menerawang diambang petang. Truk
L300 yang mereka tumpangi terus melaju meninggalkan langit barat
yang tampak bewarna kemerah-merahan. Asap bergulung-gulung meluncur
menggumuli kekesalan teman-temannya yang harus pasrah hanya dibayar
sepuluh ribu perorang. Hasil yang tak sepadan dibanding tari tradisional
yang hidup mati harus mereka perjuangkan.
*
Peristiwa dibelakang
panggung pertunjukan itu tidak pernah sirna dari ingatan Nani. Usai
pertunjukan pertama mereka memutuskan berlatih dibelakang panggung. Suara
bilah-bilah bambu dan gamelan yang dipukul terseok-seok diantara gerakan
kaki-kaki penari yang tidak bertenaga. Latihan singkat itu terhenti sejenak.
‘’kudengar kamu akan bekerja dikota Wit?’’ ujar
seorang laki-laki brewokan yang biasa menabug gendang pada seorang penari
bernama Wiwit. Pertanyaan itu
disambut raut tak percaya dari wajah Nani dan yang lainnya. Arena latihan itu
sontak hening, sebelum Nani angkat bertanya.
‘’benarkah
itu Wit?”’
‘’iya,
Paman Dewo dan Istrinya akan memperkerjakanku pada sebuah toko sepatu yang baru
mereka buka’’. Wiwit hanya menatap keluar panggung. Tak berani menatap wajah
rekan-rekannya yang pasti kecewa setelah mendengar penuturannya.
‘’kami
sangat mengerti kemauanmu wit, apalagi melihat keadaan grup Kaki Bumi yang kian
tidak ada penghasilan tetap. Namun ini tak akan lama, Cuma menunggu masyarakat
ini sadar betapa berharganya tari tradisional. Dan yang kita lakukan sekarang
adalah perjuangan untuk itu’’, ujar Nani sambil kembali membenarkan sanggulnya
yang terlepas.
‘’Menunggu?
Menunggu sampai kapan? Perjuangan kita ini tak ubahnya serupa make up diwajahmu
itu. Mereka telah membilasnya dengan air modernisme. Luntur. Dan tak bersisa
apa-apa kecuali nama. Hidup disini sudah hampir tidak ada harapan. Aku juga
harus memikirkan nasib kedua anak-anakku.’’. Wiwit berdiri sambil mengemasi isi
tas nya.
‘’tapi
keputusanmu itu menurutku sangat egois. Baru kemaren kita berjanji
untuk terus berjuang bersama-sama. Namun sekarang tiba-tiba kau ingin minggat
dari usaha yang sudah lama kita rintis ini’’ , ujar pemain suling dengan nada
putus asa.
‘’hidup
tidak pernah bisa kita tebak, kadang kita perlu mencoba sesuatu yang baru untuk
berubah. Nasib ada ditangan kita masing-masing, bukan pada gendang
,suling ataupun gamelan ini. Ini sudah keputusanku. Minggu besok aku akan
berangkat ke kota’’. Wiwit hanya menoleh sebentar kepada teman-temannya,
sebelum memalingkan punggung keluar dari pentas pertunjukan. Pertunjukan mereka hari itu batal, dan terpaksa
pulang tanpa membawa apa-apa.
Petang itu adalah terakhir kali mereka bertemu
dengan Wiwit. Sepekan berlalu, Wiwit sudah pergi ke kota dijemput pamannya.
Semenjak kejadian itu grup Kaki Bumi kehilangan gairah. Satu persatu anggota
mulai putus asa dan berguguran. Sebagian mereka ada yang kembali menggarap
sawah, berkebun dan berladang. Sebagian lagi memutuskan mengadu nasib ke kota,
mengikuti jejak Wiwit, penyebab awal bubarnya Kaki Bumi.
*
Setelah melewati deretan semak dijalan setapak belakang rumahnya, Nani
bersandar di dinding sanggar tarinya. Dikepalanya terus terngiang-ngiang
keinginan paman Harun yang membuatnya jenuh dan memutuskan berdiam diri
ditempat ini.
‘’
Sudah sa’atnya kamu harus mencoba peruntungan Nan. Bekerja di kota. Atau
paling tidak membantu bibimu mengolah sawah dan berladang. Tentu jauh lebih
baik’’. Perkataan pamannya seperti hendak menggorok mimpi-mimpinya.
‘’paman
tidak pernah tahu apa yang aku inginkan. Paman tidak mengerti masalah
mimpi-mimpiku’’, ujar Nani seraya memalingkan muka dari paman Harun yang
berdiri didepan pintu kamarnya.
‘’Pamanmu
benar Nani. Tidak ada salahnya kan kamu mencoba bekerja. Toh semua
teman-temanmu dulu sudah banyak yang sukses dikota’’. Ujar bibinya yang
sedari tadi ikut nimbrung .
‘’ini
bukan hanya masalah uang, paman dan bibi tidak akan pernah mengerti. Ini juga
tentang masalah harga diri. Harga diri kita dan negeri ini’’. Usai berkata
demikian Nani bergegas keluar meninggalkan paman dan bibinya yang tampak putus
asa membujuknya. Dua orang yang telah ia anggap orang tua itu juga tidak
mengerti dengan keinginan dan mimpinya. Mimpi yang telah diwariskan oleh ibunya
yang juga seorang penari. Ia juga ingin menjadi penari. Memperkenalkan seni
negeri ini kepada bangsa lain. Sehingga tidak ada lagi budaya bangsa ini dicap
sebagai budaya mereka.
Gerimis mengalirkan gelap. Namun Nani masih berkutat dengan mendung fikirannya.
Sesekali ia mengalihkan pandangan pada alat-alat musik yang kini bisu,
merindukan tangan-tangan para pemainnya. Ia berfikir keras, mencoba mencari
kemungkinan baru dari mimpi-mimpinya ini. ‘’mimpi harus terus berjalan,
sekalipun disa’at kita kehilangan sandara untuk berdiri. Ia akan terus menari,
meskipun itu hanya untuk dirinya dan Tuhan’’, ujarnya dalam hati.
Bergantinya waktu membuatnya memutuskan untuk menjual alat-alat musik
disanggarnya. Ia akan membuka kursus menari ditempat ia sekarang berdiri.
*
Tak ada lagi suara gamelan ataupun bunyi merdu suling yang ditiup, yang ada
hanya suara Nani yang begitu antusias memperbaiki gerakan-gerakan
murid-muridnya. Sesekali muridnya bergurau mengikuti gerakan-gerakan Nani
yang sulit mereka ikuti. Namun dengan sabar Nani membenarkan. Ia tahu
mempelajari tari tradisional membutuhkan kesabaran dan penekanan jiwa
yang mendalam kedalam diri sang penari itu sendiri.
Sebulan
berlalu sanggar latihan menarinya dibuka, namun baru enam orang yang mau
menjadi muridnya, itupun karena dijanjikan gratis oleh Nani. Hanya bermodalkan
uang hasil penjualan alat-alat musik, Nani mencukupi semua kebutuhan sanggar
menarinya. Meskipun tidak seperserpun bayaran yang ia dapatkan,namun Nani yakin
titik dari mimpi itu ialah kepahitan, dan ujungnya ialah kemanisan. Ibarat
rerumputan kering yang menjulang disekeliling sanggar, kelak ia akan
hijau seiring berlalunya kemarau . hujan yang membasahi akan menumbuhkan
kembali tunas-tunasnya. sebuah kalimat perjuanagn telah menelan bulat-bulat hatinya.
‘’modenisasi seringkali berhadapan dengan
wajah-wajah tradisionalisme kesenian tradisional yang menyimpan
nilai-nilai adiluhug regional. Spiritual dalam lokalitasnya, cenderung
bertentangan dengan dengan modernitas yang mengedepankan rasionalitas’’, ujar
Nani suatu kali, usai melatih murid-muridnya.
Sekarang
dimana ada hajatan sangat jarang dihiasi dengan seni tradisional. Semenjak
organ tunggal memasuki kampung ini, seni tradisional seolah mati suri. Nani
seringkali miris menyaksikan generasi muda yang berbondong-bondong menonton
organ tunggal. Menyaksikan biduan-biduan seksi meliuk-liuk diatas pentas.
Usia Nani memang baru 23 tahun. Usia yang cukup muda untuk memiliki jiwa
kulturalisme yang tinggi. Memiliki keinginan yang mungkin hanya dimiliki oleh
satu orang saja dari seribu orang generasi muda di dunia. Pernah ia ditawari
bekerja sebagai Suvenir di kota oleh sahabatnya Hanum, kawan sesama menari
dulu. Lebaran kemaren ia pulang dengan mobil sedan mewah. Namun ada satu hal
yang berubah dari sahabatnya itu, yaitu cara berpakaian nya yang cendrung lebih
terbuka. Konon kata tetangga-tetangganya, Hanum bukan bekerja sebagai suvenir ,
melainkan sebagai penyanyi diskotik dan penari di club malam. Penawaran itu
ditolak Nani mentah-mentah. Setidaknya untuk sekarang ia merasa lebih beruntung
dari pada hanum, masih punya moral dan harga diri.
*
Malam itu lampion-lampion terpajang dan menyala dimana-mana. Jutaan pemuda
ramai memenuhi ruas jalan. Aroma miras tercium setiap kali Nani melewati
kerumunan orang-orang yang terbius dunia malam. Musik Disco, Gangnam style dan
Harlem shake menambah erotisme pesta mereka. Mereka semua menari sambil
memegang botol-botol miras. Gerakan mereka liar , bahkan ada yang serupa orang
kerasukan. Lelaki dan perempuan bercampur baur dalam aroma bejat yang membius.
Nani terus berjalan sendirian. Menerobos kerumunan yang semakin sesak. Jutaan
pasang mata memandang kerahnya. Ia kemudian memilih jalan lain sebelum diajak berbaur dengan mereka.
Kali ini jalan yang ia lalui penuh belukar. Jalan setapak yang sangat ia
kenali. Sepanjang jalan nyaris tak seorangpun ia temui, selain kabut hitam dan
ilalang-ilalang yang berdiri setinggi mata kaki. Akhirnya sampai juga ia
pada sebuah bangunan kayu, berlantai bambu. Ah, disinilah ia biasa latihan
menari bersama teman-temannya. Tempat yang dindingnya retak, dan atap setengah
runtuh. Botol-botol vodka dan wiski berserakan. Gelas-gelas yang pecah serta
pakaian-pakaian dalam manusia benggantung di dinding-dinding. Sebuah type
recorder terdengar menyala, memainkan irama Harlem shake.
Dalam suasana hati yang bergulung-gulung terdengar suara seorang wanita
begitu keras memanggil namanya. Ia putar pandangan, namun hanya kabut pekat
yang ia lihat, mengambang diremang cahaya. Sebelum sempat melangkah pergi,
sebuah tangan menyentuh pundak kirinya. Ia menoleh. Kerongkongannya tercekat.
Seorang wanita berambut acak-acakan mirip bibinya berdiri dihadapannya. Tanpa
berkata sepatah katapun sebilah pisau ditangan kiri wanita itu melayang cepat
kearah wajah nani.
‘’Nani... Nani... kau kenapa Nani’’? wanita
setengah baya itu terus menguncang tubuh Nani yang dipenuhi keringat dan nafas
berhembus tak beraturan. Nani membuka mata. Ia melihat sosok wanita yang
tampak cemas ketakutan.
‘’kau
bermimpi buruk?’’ ujar bibi sambil terus mengusap lembut punggung Nani. Terasa
nafasnya belum stabil. Langit tampak gelap. Ternyata ia sudah dua jam tertidur
di sanggar karena kecaian usai mengajar murid-muridnya. Untung ada bibi, kalau
tidak mungkin ia telah mati sia-sia dalam mimpinya. ‘’Mimpi yang aneh, namun
terlihat begitu nyata’’, ujarnya dalam hati.
*
Setahun sudah grup tarinya bubar, namun ia belum memberi jawaban tentang
keinginan paman Harun yang menginginkannya bekerja dikota. Nani merasa sedang
diadili oleh nasib. Kursus tarinyapun sekarang terancam bubar. Disebabkan
alasan-alasan yang berbeda dari murid-muridnya. Ada yang beralasan les privat,
dan ada juga yang beralasan harus menolong orang tua kesawah dan berladang.
Saban
petang, sebelum matahari tergelincir dibarat, Nani masih setia menyusuri jalan
setapak, melintasi rimbunan ilalang yang makin meninggi, untuk kemudian tiba
disebuah bangunan berlantai bambu. Bangunan yang selalu mengingatkannya dengan
gendang-gendang yang ditabuh, atau tepuk tangan Wiwit, Hanum dan Helia yang
memuji kehebatan gerakan tarinya. Kemudian dalam keheningan ia pejamkan mata.
Ia biarkan angin-angin lembut membelai rambut dan melambungkan angan kemasa
silam. Tanpa ia sadari tangan dan kakinya telah bergerak. Menari, mengikuti
irama sendu angin. Sekarang gerakan yang ia mainkan adalah gerakan-gerakan kerinduan
dan harapan. Kerinduan akan kawan-kawan lamanya sesama menari dulu. Dan harapan
untuk terus menari walaupun tanpa orang lain. Ia akan terus menari meski hanya
teruntuk dirinya, dan teruntuk Tuhan yang masih setia merawat mimpi-mimpinya.
Padang, 24 April 2013
Senin, 18 Agustus 2014
CERPEN FIRMAN NOFEKI DI PADANG EKSPRES MINGGU 10 JULI.................................
POS
BARZAH
Hujan
baru saja reda.Tinggal sisa gerimis kecil dan bau lembab udara yang menempel berbentuk
bulatan Kristal di kaca jendela asrama. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30 Wib.
Ternyata aku sudah tertidur dua jam lebih. Samar-samar ku lihat Mila masih asyik
menulis di meja belajarnya.
‘’belum tidur
Mil’’? sapaku, disertai uapan panjang pertanda kantuk masih menjalari seluruh tubuhku.
Mila agak kaget dengan sapaan ku yang datang tiba-tiba.‘’belum Din, aku belum ngantuk’’.Tanpa
menghiraukan aku lagi dia melanjutkan kembali kegitan menulisnya. ‘’mungkin dia
sedang menyelesaikan tugasnya’’,fikirku dalam hati. Seraya kuhenyakkan kembali tubuhku
ke kasur. Perlahan aku kembali lelap dalam pangkuan malam.
*
Seminggu
semenjak kematian ayah nya Mila tampak jauh berubah.Mila yang dulu penuh canda dan
tawa kini tampak sering muram dengan wajah yang kadang memburatkan kesedihan begitu
mendalam.Bukan hanya aku yang merasakan,seluruh santri, para kiai dan guru-guru
pun merasakan hal yang sama.
‘’aku nggak
kuat din, kenapa ini terjadi begitu cepat? kenapa ayah mesti pergi disaat kami
masih membutuhkan kasih saying nya. Adik-adikku masih kecil,siapa
yang akan membiayai sekolah mereka ? belum lagi aku yang sebentar lagi akan menempuh
ujian akhir. Begitu banyak biaya yang
harus dikeluarkan.Kalau begini aku lebih baik berhenti sekolah saja din’’, ucap
mila sehari setelah kematian ayah nya.Itu begitu membuatnya putus asa dan terpukul.
‘’istighfar
mil,istighfar. Laayukallifullahu nafsan illawus’aha.Ingat mil, Allah tidak akan
membebani hamba nya diluar batas kempuan hamba nya. Allah sudah mengatur jalan hidup
manusia, kalau dia berkehendak tidak ada yang tidak mungkin’’, tegasku sambil mengusap
pundak mila.Kurasakan nafasnya naik turun,bersamaan dengan isakan dan air mata
yang tidak berhenti mengalir membasahi pipi nya.
*
Sejak
sa’at itu,aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tengah
malam dia sering menulis. Entah apa yang ditulisnya. Ku hanya berfikiran kalau dia
sedang menyelesaikan pekerjaan rumah untuk esok pagi.
Pernah suatu kali, ketika asrama sudah begitu sepi,
semua santri sudah lelap tertidur. Aku bangun hendak melaksanakan shalat tahajud.
Tanpa sengaja aku melewati meja belajar mila.Selembar kertas tampak terhimpit pada siku kanan nya. Seraya
fikiran dan perasaan ku dilanda rasa
penasaran. Apa gerangan yang ditulis sahabat ku ini. Dengan hati-hati, kusingkirkan
siku yang menghimpit kertas kecil itu. Dengan jantung berdebar kubaca kata demi
katanya:
‘’kepada penghuni
barzah yang tercinta: Syamsul Huda
Assalamu’alaikum pak, bagaimana kabar
bapak disana? Mila
harap bapak sehat wal ’afiat selalu dan berada dalam naungan nikmat dan rahmat-Nya.
Pak,kenapa bapak pergi tanpa memberitahu mila terlebih dahulu? Apa bapak tidak
sayang lagi sama mila,ibu dan adik-adik? Kami merasa tak punya arah dan tujuan sejak bapak
pergi. Kalau berkenaan, izinkan mila ikut dengan bapak. Mila sudah tidak tahan dilanda
rasa hampa dan putus asa’’…..
masyaAllah…. Belum sempat kuselesaikan membaca,hatiku bergetar
hebat. ‘’begitu putus asanya engkau wahai sahabatku’’.Tak terasa air mataku mengalir.
Tetes demi tetes membasahi kertas kecil yang sedari tadi kupegangi. Kuletakkan kertas
itu lagi dibawah siku kanan mila. Usai tahajud kulanjutkan tidurku dengan air
mata masih berlinang.
‘’din,
seandainya didunia ini ada pos barzah, aku pasti setiap hari bisa surat menyurat
dengan bapak dialam sana’’, ucap mila sewaktu jam pelajaran ilmu hadist berlansung.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan mila. Aku tau dia sekarang hanya
berhalusinasi. Sebentar kupandangi wajahnya tanpak begitu pucat. Tatapan matanya
menerawang entah kemana.
‘’mil, mukamu kok pucat? Kamu sakit ya?, tanyaku sambil
kurasakan tangannyabegitu dingin. Dia hanya membalas dengan gelengan kepala.
Hingga akhirnya dia meminta izin kepada ustadz yang mengajar siang itu dengan
alasan sakit perut.
Detik demi detik berlalu. Menit pun sudah tak terhitung
yang terlewatkan.Beberapa menit lagi jam pelajaran siang itu usai. Tapi mila belum
jua kembali. Hatiku dilanda gelisah tak menentu.Ada apa dengan dirinya. ‘’apa perutnya
benar-benar sakit dan sekarang sedang di UKS? ,ujar batinku.
Rasa gelisah berkecamuk bersamaan dengan suara ribut
diluar kelas. Suara itu sepertinya berasal dari WC santri perempuan.
‘’tolong..ada yang bunuh diri disini‘‘
kudengar suara teriakan. Hatiku tersentak kaget. Segala
kecemasan serasa memenuhi seluruh persendian tubuhku
’mila’’, tiba-tiba nama itu terngiang difikiranku. Aku
pun takut untuk memastikannya. Tanpa menunda waktu lagi kuberlari menuju sumber
suara. Seketika, ‘’innalillahiwainnailaihi raaji’uun’’.. jantungku seakan berhenti
berdetak. Kusaksikan mila terkulai lemah dalam pangkuan seorang santriwati. Bibirnya
membiru. Pergelangan tangannya tanpak sobek. Cairan merah segar tak berhenti mengalir.
Air mataku tumpah, kepalaku pusing, ribuan belati tajam menancap ulu hatiku.
Mila pun dibawa ke RSUD setempat. Namun sayang, dia kehabisan
darah dan tak bisa lagi diselamatkan.
Ternyata pos barzah telah membawa mila menembus dimensi
waktu. Pos barzah telah mengabulkan doa sahabatku. Meski dengan jalan seperti ini.
Aku hanya berharap semoga Allah menerimamu dengan tenang disisi-Nya .
padang ekspres, 10 07 11
Minggu, 17 Agustus 2014
MATA AIR AIR MATA
sebuah cerpen Firman Nofeki teruntuk Negeri Sejuta Mujahid : Palestina
MATA AIR AIR MATA
Aku air mata. Setiap kali bani Adam nuzul dari sulbinya, Tuhan menyadukku untuk diberi tahta diatas cawan-cawan hati manusia. Disanalah aku berbaur dengan segala penghuni abstrak lain yang tak terlihat. Kesenangan hidup, luka atas nasib buruk, dan penderitaan yang kejam yang memiliki tahta mereka sendiri-sendiri di kota asing ini. Kota yang pernah purba oleh kesendirian, dan terbakar oleh amarah yang membara.
Aku
tak pernah menyangka ada sebuah kota yang hancur seperti ini. Akibat dilanda
kebakaran dan bencanakah? Atau ini sebuah kota yang pernah ada ratusan abad
yang lalu, dan Ia membawaku mengunjunginya kembali. Tuhan bilang aku memiliki
seorang teman disini. Tapi siapa dan dimana ia? Andai Ia tahu, yang ingin aku
lakukan adalah segera keluar dari kota ini. Dan kuceritakan pada temanku itu,
prihal waktu yang pernah membakar sendiri dikotaku.
Entah
sudah berapa lama aku sampai ditempat ini. Tiba-tiba aku merasa tengah berdiri
dibibir jurang yang curam. Dan bila sepatah saja terlintas, sa’at itu pula
tubuhku meluncur dalam dekapan sang bayu. Menimpal batu-batu runcing,
tersungkur dihamparan pasir-pasir.
*Tel aviv, 16 maret
Raungan
rem yang diinjak kuat membuat kepala lelaki yang masih tertidur itu tertubruk
kekursi depan. Truk berhenti disamping Hadanah. Didepannya menjulang
gedung berlantai tiga. Berdiri sebuah plang yang bertuliskan ‘’GEDUNG
KEDUTAAN’’. Dev mulai sibuk mengemasi ransel hitamnya yang terbuka. Menyetel
kamera digital yang telah dilengkapi ‘’Voice Audio Respons’’ VAR 623 buatan
Amerika. Diprogram untuk merekam suara ketika menjepret gambar. Salah satu
taktik menjadi agen mata-mata rahasia sewaktu ia latihan militer di Pakistan.
Sebuah taktik rahasia yang biasa dipakai CIA ataupun FBI.
‘’kum ya akhi’’, Dev menepuk pundak yasser,membangunkannya. Pemuda itu mengeliat sambil
membenarkan arah kacamata yang mulai menyikut hidungnya. Didalam tidur ia
bermimpi bergulat dengan anjing-anjing pelacak tentara yang kejam. Ia mencium
anyir darah bersimbah didedaunan zaitun. Yasser tersenyum. Devid pun tersenyum.
Senyum yang hanya mampu dibaca oleh semilir angin dikotaku.
*
Halaman
gedung kedutaan serupa dipenuhi semut-semut hitam berdasi. Pakaian-pakaian
mereka, obrolan mereka, tawa mereka, sangat berbeda dengan orang-orang
dikotaku, yang hanya bercerita tentang kelaparan, jiwa-jiwa yang mati, dan mata
air yang mengering di telaga Al-gharrabi.
Ribuan
tentara yang bertugas semakin mempersempit ruas jalan. Lidah-lidah berdecakan
mencipta kebisingan. Yasser dan Devid memasuki sebuah ruang oval berlabel
‘’RUANG PERTEMUAN’. Terlihat beberapa anggota bagian tinggi senat
meneliti arsip laporan dari intelligen. Komisi tinggi senat tidak akan memberi
ampun bagi mata-mata yang berkeliaran digedung kedutaan. Kepala mereka tentu
saja bisa menjadi sasaran empuk senapan.
‘’apa kau yakin misi ini akan berhasil Dev ?’’
Ia hanya tersenyum sembari berdiri kearah jendela. Menyapu pandangan pada asap-asap hitam yang mengepul.
‘’Allah akan selalu bersama hamba-hamba yang berbuat baik dijalan-Nya. Innallaha ma’ana, Allah bersama kita, InsyaAllah.’’
*
Ramallah, 21 maret
Pemuda itu terus mengeliat dibalik gang-gang pasar kota Ramallah. Dari jauh kudengar mulutnya terus mengerang kesakitan. Sesekali erangan itu berubah kalimat tahlil yang menebarkan semangat jihad para mujahidan yang sedang diincar mulut-mulut bazoka tentara jahanam itu. Pegangan tangan dilutut kirinya semakin kuat menahan aliran darah yang membuat betis putihnya menjadi merah. Algojo jahanam itu sempat melayangkan dua butir peluru kelutut kirinya, ketika ia berlari mencari bantuan keperbatasan al-gharrafa.
Sementara diudara helikopter-helikopter apache terus memburu. Ledakan demi ledakan menggugurkan dedaunan pohon disampingnya. Membangunkanku yang telah lama lama terlelap. Baru saja aku berdiri dan hendak keluar, sang bayu mendorongku kembali.
Asap dan debu mengepul kelangit. Mengakhiri ledakan bercampur teriakan dan jeritan. Meski tidak berada disana, namun aku mampu melihat tubuh-tubuh hancur itu berhamburan dijalanan, gedung-gedung terbakar yang tinggal sejengkal dengan tanah, pasir-pasir yang mengepul kelangit , batu-batu, jalanan yang menyatu dengan kabut, bahkan ketika ku mendogak keluar langit kotaku demikian kelam.
para lelaki akan memeluk istri dan anak-anaknya yang tidak lagi bernyawa. Tengkorak-tengkorak pejuang kan menggelinding dijalanan. Sungai al-qasam mengeruh merah, membawa kalimat jihad itu kelaut mediterania.
Pandangannya makin berat menatap senja yang menutupi kota. Dalam hati ia bertanya ‘’kapan senyum itu akan mengembang disini? ‘’ bukan lagi senyum dalam lontaran batu, mesiu dan peluru. Memang selama ini ia tersenyum. Tersenyum ketika anjing-anjing pelacak itu mengoyak tubuh wanita dan anak-anak. Tersenyum ketika roh-roh pendahulu kami terbang ke jannah Azzawajala. Kapan kota ini akan tersenyum melihat anak-anak mereka tidur terlelap. Melihat para pemuda tenang merapatkan shaf di Al-Aqsha. Melihat ibu-ibu menyucikan baju dan membuatkan susu untuk bayi-bayi mereka. Melihat anak-anak bernyanyi Biladi biladi di hadanah. Bermain, tertawa, belajar merangkai kata merdeka untuk palestina.
*
Terowongan, 21 maret
Seorang laki-laki tengah terengah-engah memopong temannya menuju terowongan. Disibaknya semak-semak yang menutupi jalan. Beberapa orang laki-laki membantu menurunkan Yasser yang terkulai lemah.
‘’hati-hati !’’, ucap Devid sambil menutup pintu terowongan. Udara segar berganti padat dan pengap. Hanya laring-laring kecil tempat silih bergantinya udara. Bau sampah, keringat dan mayat membaur. Devid menutup hidung.
‘’hidup mengendap serupa ulat, mati, dan menjadi bangkai ulat yang kelaparan. Ini rumah sekaligus kuburan. Hidup berdampingan dengan orang-orang yang telah mati. Melihat wajah-wajah mereka tersenyum menyaksikan keindahan syurga. Semua orang pasti akan kembali menjadi tanah bukan?’’ ujar syeikh Ahmad sambil menepuk bahu devid.
Kemanapun kami pergi, keseluruh penjuru sudut kota ini, sindrom kematian itu terus menyusupi dada-dada kami. Kami lebih senang mati seperti ini. Mati dalam keadaan utuh, tenang dan damai. Dari pada mati serupa binatang. Mati dihujami rudal dan peluru. Dan melihat tubuh-tubuh hancur berhamburan. Tidak adakah yang tahu betapa berat arti sebuah kehilangan. Memporak porandakan keharmonisan yang susah payah kami bangun. Melenyapkan nyawa bayi-bayi yang tidak mengerti arti sebuah pertempuran.
Maka ditempat inilah kami membesarkan bayi-bayi kami. Mengajarkan mereka merangkak dalam gelap. Mengajari mereka arti sebuah perdamaian, cara memuji tuhan dan membaca al-qur’an.
Ya, membaca al-qur’an. Bahkan setiap waktu selalu ada anak-anak kami yang hafal al-qur’an. Rukuk dan sujud bersama, menangis bersama dan berdo’a bersama. Dari pada diluar sana, kami melihat setiap hari kitab-kitab kami dibakar, dan masjid kami merata dengan tanah.
Disini waktu bagi kami hanyalah kegelapan. Tak ada pagi dan siang. Tak ada panas dan hujan. Kami bukan lagi manusia yang terikat dengan matahari. Tentu kami juga merindukan langit, awan-awan dan rerumputan. Merindukan matahari terbit dan tenggelam. Merindukan berdiri diatas kaki kami sendiri.
Disini penglihatan dan pendengaran kami menjadi luar biasa. Setiap sa’at terdengar suara dentingan sendok beradu dengan piring mereka. Suara kran air mereka ketika mandi, suara radio yang mereka setel dan acara televisi yang menyajikan siaran kekejaman mereka. Kami melihat anak-anak mereka berseragam bersih dan rapi berangkat ke sekolah, sedangkan pakaian anak-anak kami kumuh Karena harus merunduk didalam tanah. Kami melihat lampu-lampu mereka terang menyala, sedangkan kami harus mencuri minyak dari tank-tank baja mereka.''
*
Ramallah, 22 maret
Sebagian dari orang-orang itu sudah kembali untuk menyelamatkan diri. Sedang aku masih terbaring kaku disini. Sesekali keluar menjenguk angin yang berdesir dihamparan pasir-pasir. Menyaksikan gemintal kabut mengangkat roh-roh mereka. Entah sudah berapa lama aku berjalan sampai kemudian sampai ditempat ini. Sebuah kota yang tinggal puing. Tak ada tanda-tanda bahwa kebahagiaan pernah singgah ke kota ini.
*
Dua orang laki-laki itu terus menembus belukar. Rumput-rumput liar telah berubah kehitaman akibat debu dari bom-bom asap. Tujuan mereka adalah ujung jalan al-Gharrafa. Untuk mencapainya dibutuhkan jalan kerikil yang menanjak. Sungguh sulit bagi Yasser yang harus berjalan terpincang. Belum lagi ancaman dari tentara biadab yang siap membredel tembakan kearah mereka.
Sesampainya di perbatasan Raffah, mereka akan menumpang truk bantuan kemanusiaan dari mesir. Kemudian menemui dewan keamanan PBB dan menyerahkan rekaman dokumen penting yang tersimpan di ransel mereka. Membongkar kebohongan mereka dimata media dan dunia.
‘’Apakah kau yakin ini akan aman, Dev ?’’ Yasser yang terpincang-pincang mulai tanpak kelelahan.
‘’Berdo’alah ! mudah-mudahan jiwa kemanusiaan mereka timbul untuk para jurnalis seperti kita’’.
Devid dan Yasser tersenyum bersamaan. Senyum yang hanya mampu dibaca oleh angina dingin di kotaku.
*
Teriakan jihad menembus kabut, menelusup pemandangan. Bau mesiu dan asap menyatu dengan lemparan batu dan hujaman peluru.
‘’khaibar khaibar ya yahuudd’’. Yel-yel kebencian mulai terdengar diteriakkan. Helikopter-helikopter Apache mengoperasi udara. Ledakan demi ledakan menyinari kegelapan.
‘’Allahu akbar, jasyu Muhammad saufa yauud’’. Teriakan-teriakan itu beradu dengan suara peluru yang menembus dada mereka. Akupun berlari keluar mendekati tubuh-tubuh lemah yang tersungkur. Namun sayang, aku keburu jatuh menimpal gundukan pasir-pasir. Kemudian aku menemukan sebuah mata air. Warna merah dan pekat seketika membanjiri tubuhku.
*
Devid dan Yasser memotong jalan kosong al-Gharrafa. Dari arah timur dan selatan dua buah helikopter Apache mengikuti. Bom-bom berjatuhan. Dev dan Yasser memacu langkah sekuat tenaga. Yasser yang terpaksa berlari sambil memegangi lutut kirinya kehilangan keseimbangan. Sekonyong-konyong tubuhnya terjerembab ketengah hamparan pasir-pasir. Dari arah utara dan barat dua buah tank baja mendekat. Namun sayang, Devid yang sudah terpisah jauh tak sempat menarik tangan Yasser. Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya diburu rasa cemas dan takut yang saling beradu. Terlihat dua orang berseragam berbadan tegap keluar , memukul jidat Yasser dengan ekor senapan. Yasser terjerembab. Akupun berlari dan mengejarnya. Tiba-tiba, ‘’Dor…Dor..Dor..’’ letupan-letupan itu kembali membuatku terjerembab dihamparan pasir-pasir. Dengan lembut kuusap kedua pipi Yasser. Seketika mata air itu kembali memuncrat menggenangi tubuhku. Sebuah mata air yang lain. Bewarna merah, bermuara disekitar tubuhnya.
Dari kejauhan Yasser sempat melambaikan tangan dan tersenyum kepada devid. Sebelum kepala dan dadanya dibredel dengan rentetan peluru.
*
Jalan lebar dan terbuka mulai terbentang dihadapannya. Sedih, senang dan takut menelan bulat-bulat hati Devid. Dari kejauhan sebuah truk melaju kearah dimana ia berdiri. Dalam hati ia yakin itu sebuah truk kemanusiaan. Devid mencoba melambaikan tangan. Seorang laki-laki mengulurkan tangan keluar, ‘’Dorr’’… sebuah benda bulat tumpul meledak menerkam dadanya. Devid terjerembab. Sebagian tubuhnya menyentuh bidang jalan. Aku pun berlari menuju Devid. Namun terlambat, tubuhku kembali jatuh menyentuh pasir-pasir.
Dua orang berpakaian militer turun. Salah seorang merenggut ransel dari punggung Devid, sebelum dua butir peluru lagi dilesatkan kearah leher dan dadanya. Bus itu kemudian melaju kencang meninggalkan Devid yang sedang diambang syurga.
Seketika mata air itu juga memuncrat disekitar tubuh Devid. Membasahi tubuhku yang masih terjerembab dihamparan pasir-pasir.
Ternyata, inilah mata air lain yang dijanjikan oleh Allah sebagai teman untukku. Mata air yang memuncrat dari tubuh mujahid-mujahid kota tua, Palestina. Teman abadi yang akan menjadi saksi untuk mereka para mujahid ini, kelak di syurga.
*
Note
Kum ya akhi : bangun ya saudaraku
Hadanah : taman kanak-kanak
Biladi-biladi : lagu kebangsaan palestina
Langganan:
Postingan (Atom)