Rabu, 17 Desember 2014

DI POTRET SAJAKKU

di potret sajakku
kutemukan muka-muka menua
;merekalah waktu-waktu penantianku

di kamar sajakku 
ada engkau yang terjaga
; menembus rabunku.

di sungai sajakku
ada muara yang tenang 
;melautkan doa-doa 
ada riak yang pasang
menghanyutkan sejuta kita. 

LELAKI YANG MENIUP HUJAN

sesungguhnya, ini bukan tentang ''hujan yang menyala di matamu'' sayang, bukan itu
ini juga bukan tentang ''hujan yang jatuh tiba-tiba''
dan kita berlari berteduh di rongga ternyaman dari hati masing-masing
ini juga bukan tentang sajak yang ''setelah hujan reda'' ada pelangi  melengkung indah antara hati hati kita
sekali lagi ini bukan tentang itu
semuanya telah engkau larutkan dalam sungai kenangan, bukan?
ini tentang hujan Desember yang begitu faham cara mengalirkan hangat masa kecil ke dalam gigil tubuhku
juga tentang malam yang membawa kado sepi
dan 20 batang hujan pengganti 20 nyala lilin yang mesti kutiup malam ini
sembari mengenang tahun-tahun yang disesap mulut-mulut sunyi

sayang
hendak aku khabarkan keadaan seperti apa yang begitu dalam melumat rongga dadaku
;( pada perahu usia,kulihat masa kanak-kanak melebur dalam kaabut-kabut purba
gelombang-gelombang harapan silih berganti menerjang kesepiannya
aku seperti terjerat jangkar takdir yang asing
sa'at mimpi melambungkan do'a-do'a ke sisi langit purnama
matahari mengisahkan indahnya rahasia-rahasia cahaya lusa
diam-diam ranting usia yang tidur dalam jasadku serasa berderak tiba-tiba)

sungguh, ini bukan tentang hujan yang menyala di mataku sayang
dan kau datang membawa sapu tangan untuk menepis abu gerimis dari wajahku
sekali lagi bukan itu
ini tentang hujan Desember yang mengisi lembar-lembar kosong diaryku
menjadi sajak-sajak muram yang mesti kutulis
mengapa kau tidak datang untuk sekedar melipat dan membuangnya
kemudian mengajariku merangkai kalimat ''selamat datang'' untuk hari yang berbahagia ini
menemaniku meniup 20 nyala hujan
memadamkan cahaya masa lalu yang nyala di mata dan sukmaku





16-12-1993



Jumat, 26 September 2014

Aku akan pergi ke kota paling rindu itu
kota yang tidak memiliki gigil dan hujan
sebab semesta dan langit-langitnya adalah bayang-bayangmu







Kamis, 21 Agustus 2014

LELAKI YANG MENUNGGUI KEBAHAGIAAN KELUAR DARI PINTU SYURGA



dengan dorongan langkah ia melampaui zaman-zaman
musim-musim melambai, waktu-waktu berpasung di kakinya
lelaki itu, berjalan untuk mengetuk rahim fajar yang menelurkan subuh
di embun matanya, Dik, kabut memekat dan larut
membanjiri cakrawala

lelaki itu melangkah di atas arwah peradaban yang tertidur di kaki akar
satu tetes keringatnya menjadi lautan
dimana sampan-sampan sejarah merangkak di punggungnya
setetes darahnya membentuk pulau-pulau
kerinduan karam, kesepian terdampar
kepergian setelah kedatangan silih berganti membangun pusara di atas ubunnya
sebuah jejaknya berubah jembatan
tempat kematian menyeberangi kehidupan

kebahagiaannya tak mendapat musim untuk kembali
serupa darah mengalir tak pernah balik ke liang nadi

ia lelaki yang tersesat di liang rahim, alam menelurkannya ke bumi
dierami di bawah panasnya bangsal-bangsal peradaban
ia menetas dan berumah di cangkangnya
melewatkan usia dalam bayangan hampa

lumut-lumut menjalar mengakari ingatan
keganasan bumi adalah jejak yang terekam
lelaki itu, dik, dengan kegersangan langkahnya ingin menghidupkan musim semi
berdiri senyiur pohon-pohon, menunggui cuaca menjatuhkan buah
agar tanah tak lagi sunyi

lelaki itu, dik, dengan kekeringan matanya ingin melayarkan perahu-perahu
mencari bayangan ayah-ibu yang termakan abad
serupa kematian berdiri di atas kepala, demikian harapan dibangun
hingga lumut mengakari daging

lelaki itu merindukan dua belah sayap jatuh disisi punggungnya
terbang, menunggui kebahagiaan keluar dari pintu syurga

payakumbuh, 17-03-14

Rabu, 20 Agustus 2014

KETIKA PENA JATUH CINTA PADA KATA-KATA



* engkaulah arakan awan-awan yang menjatuhkan hujan kesejukan
akulah yang senantiasa menyimpan rintiknya
mengalirkannya kedalam anak-anak sungai jiwa yang tenang
 ― firman nofeki

*  Dikota paling rindu itu,Ningtyas
malam senantiasa menjatuhkan pejammu di mataku, mencuriku diam-diam dari mimpi, kemudian menidurkanku diatas bantalan lembut hati.
kau perempuanku, jangan tutup pejammu aku takut pada bangun, yang kan membuatmu jatuh kedalam selaput rapuh kabut pagi
 ― firman nofeki (dalam puisi Ningtyas)

*“hanya dia yang berasal dari tulang rusukku lah kelak yg bisa merawat hati ini. sebab dialah yang pernah bersemayam dekat dengan detaknya.”
firman nofeki

*  “keringat dan air mata adalah anak sungai yg akan terus mengangkut sampan impianku. Diatasnya, akan kutompangkan impian-impian manis banyak orang. Sebab sampan ini terlalu luas jika hanya dihuni impianku sendiri”
firman nofeki

*  “jika puisi tak jua mampu mewakilkan perasaanku padamu, kekasih
biarlah kuhantarkan dengan do'a-do'a yang kutompangkan lewat kereta Tuhan dimalam-malam buta
biarlah kuwakilkan lewat sampan-sampan yang berlayar diatas genangan air mata munajat”
firman nofeki

DIRGAHAYU INDONESIAKU

Indonesia....
seKali langitmu tempat wajahku mengadah
sekali tanahmu menjadi tubuh yg melekati arwah
maka selamanya kita padu dalam satu

Dirgahayu indonesiaku...
walau beribu watak pewaris tahtamu
tetap satu tanah juangku
kami mencintaimu lebih lama dari selamanya

17-08-2014

KETIKA PENA JATUH CINTA PADA KATA-KATA



* Assalamu'alaikum rindu
semoga Allah senantiasa meletakkan tangan pelindungNYA untuk menjagamu, dari kejahatan kesedihan yg senantiasa menyinggahimu  
_firman nofeki

* mungkin hari ini aku adalah bahagian terburuk dari mimpi
namun hidup harus tetap menyala, meski perih kusirami dengan air mata sendiri  
_firman nofeki

* engkau laksana sajak yang tak kunjung selesai. dengan begitu saya tidak akan pernah meninggalkanmu
_firman nofeki

*  aku masih terus mengingatmu, dan membiarkan kenangan itu lesap menguap kedalam lapisan hari-hari.
agar disetiap pagi, kenangan tentangmu kembali mengembun difikiranku. meluruhkan semua rasa itu, utuh dan putih _firman nofeki

* aku akan pergi ke kota paling rindu itu, ningtyas
kota yg tidak memiliki gigil dan hujan
sebab angkasa dan langit-langitnya adalah bayanganmu _firman nofeki, penggalan puisi Ningtyas''

* jika yg engkau miliki adalah cinta mati, maka hatiku adalah makam yg tepat untuk mengbadikan jasadnya _firman nofeki

* rindu adalah mahkota kebesaran yg kukenakan, berharap kamu dapat mengenaliku dari kejauhan.
padamu, apa yg kusebut sebagai cinta tak lebih tegar dari setetes embun yg berhastrat meretaki bebatuan, tak lebih khusyuk dari do'a-do'a yg kuisyaratkan dalam munajat-munajat hening pengharapan  
_firman nofeki_


Selasa, 19 Agustus 2014

TERUNTUK AKU DAN TUHAN






TERUNTUK AKU DAN TUHAN

  Enam bulan sesudah grup tarinya bubar, Nani belum memutuskan apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Saban petang, sebelum matahari tergelincir  di barat, ia masih setia menyusuri jalan setapak yang mendaki. Melintasi rimbunan alang-alang yang sebelumnya tak pernah tumbuh disana, untuk kemudian tiba disebuah bangunan kayu beratap rumbia, berlantai bambu tanpa dinding yang menutupi. Ditempat itulah dulu ia menghabiskan  hari-hari untuk berlatih menari. Dulu sebelum petang tiba, tabuhan suara gendang, gamelan, dan hentakan kaki para penari yang diiringi menjadi cara tersendiri bagi Nani dan teman-teman nya untuk sekedar menikmati keindahan alam ini.
            Kadang ia membayangkan dirinya tengah berada disebuah gedung festival seni yang megah. Bergabung bersama seluruh penari-penari dari mancanegara. Menunjukkan pada dunia bahwa indonesia juga memiliki beragam tarian tradisional yang luar biasa. Mungkin tidak kalah hebatnya dengan Gangnam style ataupun Harlem shake yang sekrang begitu tenar dikalangan masyarakat. Menurutnya tidak sedikitpun mengandung nilai-nilai estetika.
‘’Aku mestinya sudah menari diluar negeri !’’ selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Kemudian ia akan menari sendirian. Merasakan kembali berada ditengah-tengah Wiwit, Hanum, dan Helia yang tiada lain adalah teman-teman sesama menari dahulu. Mereka yang satu kampung tergabung dalam sebuah grup tari yang mereka beri nama ‘’Kaki Bumi’’ ditemani beberapa orang pemain alat musik daerah dari kampung mereka. Disini. Dipentas kayu sederhana ini dulu mereka  sering belajar gerakan-gerakan baru. Nanilah sosok yang paling antusias memperagakan setiap gerakan-gerakan baru yang ia ciptakan sendiri.
‘’coba kalian lihat gerakanku yang ini ! ini perpaduan Reog Ponorogo dengan tarian Pagean Bali’’. Ia berputar-putar sembari memegangi ujung-ujung selendangnya dengan jari telunjuk dan jempol saling mengatup. Satu kaki ia jinjitkan sambil terus memainkan selendang biru tua yang berkibar dihembus angin petang yang bergerak semilir.
‘’plok..plok...plok.. kamu memnag hebat’’, ujar seluruh penari lain. Kemudian mereka akan meminta Nani untuk mengajarkan mereka.
            Perlahan air matanya turun menyapu rona merah diwajahnya. Kemudian berderai satu-satu kelantai, membentuk genangan kecil yang tak beraturan.  Kerinduan akan kebersamaan mereka seperti meledak-ledak. Perempuan bertubuh sedang itu tersedak.
Dipejamkannya matanya. Diingatnya kembali semua gerakan-gerakan indah yang pernah mereka mainkan disini. Tiada lagi suara iring-iringan gamelan dan gendang yang ditabuh. Cuma angin yang menciptakan irama kegetiran disetiap gerakan tariannya. Dalam hati ia terus membatin. Ia akan terus menari, sekalipun tiada orang lain yang peduli. Ia akan terus menari meski hanya untuk dirinya sendiri, dan untuk Tuhan yang telah memberikannya mimpi yang terus menari-nari dikedalaman hati.
*
Dulu, Nani sungguh menikmati hari-harinya. Bila pagi tiba, ketika matahari sepenggalah tingginya, ia bersama rombongan yang telah menunggunya disanggar berangkat memenuhi undangan mengisi acara hajatan atau festival menari. Ia dan beberapa penari lain, ditemani para penabuh gendang, gamelan dan para pemain musik lain berjejalan di bak truk yang mengakut mereka. Biasanya mereka akan bernyanyi lagu-lagu daerah ditemani dentuman-dentuman gendang dan gamelan hingga ditempat tujuan.
Honor dua ratus lima puluh ribu dibagi dengan lima orang penari dan empat orang pemain musik harus ia jalani empat tahun belakangan ini. Semenjak ayah dan ibunya meninggal ia telah diwarisi wewenang untuk melestarikan budaya yang terus diwariskan dari keluarga turun temurun. Menjadi penari tarian tradisional. Kehidupan paman dan bibinya yang hanya digantungkan pada sawah dan kebun pisang tidak terlalu mampu memenuhi kebutuhan Nani.
‘’Zaman mungkin telah berubah, fanatisme terhadap budaya lokal mulai terpupus dari ingatan masyarakat. Namun kita menari untuk melestarikan budaya bangsa kita. Cukuplah Reog Ponorogo yang hampir lepas dari tangan bangsa ini’’, ujar nani suatu kali sepulang dari memenuhi hajatan untuk menari dikampung sebelah. Matanya terus menerawang diambang petang. Truk L300 yang mereka tumpangi  terus melaju meninggalkan langit barat  yang tampak bewarna kemerah-merahan. Asap bergulung-gulung meluncur  menggumuli  kekesalan teman-temannya yang harus pasrah hanya dibayar sepuluh ribu perorang. Hasil yang tak sepadan dibanding tari tradisional yang hidup mati harus mereka perjuangkan.
*
Peristiwa dibelakang panggung  pertunjukan itu tidak pernah sirna dari ingatan Nani. Usai pertunjukan pertama mereka memutuskan berlatih dibelakang panggung. Suara bilah-bilah bambu dan gamelan yang dipukul terseok-seok diantara gerakan kaki-kaki penari yang tidak bertenaga. Latihan singkat itu terhenti sejenak.
‘’kudengar kamu akan bekerja dikota Wit?’’ ujar seorang laki-laki brewokan yang biasa menabug gendang pada seorang penari bernama Wiwit. Pertanyaan itu disambut raut tak percaya dari wajah Nani dan yang lainnya. Arena latihan itu sontak hening, sebelum Nani angkat bertanya.
‘’benarkah itu Wit?”’
‘’iya, Paman Dewo dan Istrinya akan memperkerjakanku pada sebuah toko sepatu yang baru mereka buka’’. Wiwit hanya menatap keluar panggung. Tak berani menatap wajah rekan-rekannya yang pasti kecewa setelah mendengar penuturannya.
‘’kami sangat mengerti kemauanmu wit, apalagi melihat keadaan grup Kaki Bumi yang kian tidak ada penghasilan tetap. Namun ini tak akan lama, Cuma menunggu masyarakat ini sadar betapa berharganya tari tradisional. Dan yang kita lakukan sekarang adalah perjuangan untuk itu’’, ujar Nani sambil kembali membenarkan sanggulnya yang terlepas.  
‘’Menunggu? Menunggu sampai kapan? Perjuangan kita ini tak ubahnya serupa make up diwajahmu itu. Mereka telah membilasnya dengan air modernisme. Luntur. Dan tak bersisa apa-apa kecuali nama. Hidup disini sudah hampir tidak ada harapan. Aku juga harus memikirkan nasib kedua anak-anakku.’’. Wiwit berdiri sambil mengemasi isi tas nya.
‘’tapi  keputusanmu itu menurutku sangat egois.  Baru kemaren kita berjanji  untuk terus berjuang bersama-sama. Namun sekarang tiba-tiba kau ingin minggat dari usaha yang sudah lama kita rintis ini’’ , ujar pemain suling dengan nada putus asa.
‘’hidup tidak pernah bisa kita tebak, kadang kita perlu mencoba sesuatu yang baru untuk berubah. Nasib ada ditangan kita masing-masing, bukan pada gendang ,suling ataupun gamelan ini. Ini sudah keputusanku. Minggu besok aku akan berangkat ke kota’’. Wiwit hanya menoleh sebentar kepada teman-temannya, sebelum memalingkan punggung keluar dari pentas pertunjukan. Pertunjukan mereka hari itu batal, dan terpaksa pulang tanpa membawa apa-apa.
Petang itu adalah terakhir kali mereka bertemu dengan Wiwit. Sepekan berlalu, Wiwit sudah pergi ke kota dijemput pamannya. Semenjak kejadian itu grup Kaki Bumi kehilangan gairah. Satu persatu anggota mulai putus asa dan berguguran. Sebagian mereka ada yang kembali menggarap sawah, berkebun dan berladang. Sebagian lagi memutuskan mengadu nasib ke kota, mengikuti jejak Wiwit, penyebab awal bubarnya Kaki Bumi.
*
            Setelah melewati deretan semak dijalan setapak belakang rumahnya, Nani bersandar di dinding sanggar tarinya. Dikepalanya terus terngiang-ngiang keinginan paman Harun yang membuatnya jenuh dan memutuskan berdiam diri ditempat ini.
‘’ Sudah sa’atnya kamu harus mencoba  peruntungan Nan. Bekerja di kota. Atau paling tidak membantu bibimu mengolah sawah dan berladang. Tentu jauh lebih baik’’. Perkataan pamannya seperti hendak menggorok mimpi-mimpinya.
‘’paman tidak pernah tahu apa yang aku inginkan. Paman tidak mengerti masalah mimpi-mimpiku’’, ujar Nani seraya memalingkan muka dari paman Harun yang berdiri didepan pintu kamarnya.
‘’Pamanmu benar Nani.  Tidak ada salahnya kan kamu mencoba bekerja. Toh semua teman-temanmu dulu sudah banyak yang sukses dikota’’. Ujar bibinya  yang sedari tadi ikut nimbrung .
‘’ini bukan hanya masalah uang, paman dan bibi tidak akan pernah mengerti. Ini juga tentang masalah harga diri. Harga diri kita dan negeri ini’’. Usai berkata demikian Nani bergegas keluar meninggalkan paman dan bibinya yang tampak putus asa membujuknya.  Dua orang yang telah ia anggap orang tua itu juga tidak mengerti dengan keinginan dan mimpinya. Mimpi yang telah diwariskan oleh ibunya yang juga seorang penari. Ia juga ingin menjadi penari. Memperkenalkan seni negeri ini kepada bangsa lain. Sehingga tidak ada lagi budaya bangsa ini dicap sebagai budaya mereka.
            Gerimis mengalirkan gelap. Namun Nani masih berkutat dengan mendung fikirannya. Sesekali ia mengalihkan pandangan pada alat-alat musik yang kini bisu, merindukan tangan-tangan para pemainnya. Ia berfikir keras, mencoba mencari kemungkinan baru  dari mimpi-mimpinya ini. ‘’mimpi harus terus berjalan, sekalipun disa’at kita kehilangan sandara untuk berdiri. Ia akan terus menari, meskipun itu hanya untuk dirinya dan Tuhan’’, ujarnya dalam hati.
            Bergantinya waktu membuatnya memutuskan untuk menjual alat-alat musik disanggarnya. Ia akan membuka kursus menari ditempat ia sekarang berdiri.
*
            Tak ada lagi suara gamelan ataupun bunyi merdu suling yang ditiup, yang ada hanya suara Nani yang begitu antusias memperbaiki gerakan-gerakan murid-muridnya.  Sesekali muridnya bergurau mengikuti gerakan-gerakan Nani yang sulit mereka ikuti. Namun dengan sabar Nani membenarkan. Ia tahu mempelajari tari tradisional membutuhkan kesabaran  dan penekanan jiwa yang mendalam kedalam diri sang penari itu sendiri. 
Sebulan berlalu sanggar latihan menarinya dibuka, namun baru enam orang yang mau menjadi muridnya, itupun karena dijanjikan gratis oleh Nani. Hanya bermodalkan uang hasil penjualan alat-alat musik, Nani mencukupi semua kebutuhan sanggar menarinya. Meskipun tidak seperserpun bayaran yang ia dapatkan,namun Nani yakin titik dari mimpi itu ialah kepahitan, dan ujungnya ialah kemanisan. Ibarat rerumputan kering yang menjulang  disekeliling sanggar, kelak ia akan hijau seiring berlalunya kemarau . hujan yang membasahi akan menumbuhkan kembali tunas-tunasnya. sebuah kalimat perjuanagn telah menelan bulat-bulat hatinya.  
‘’modenisasi seringkali berhadapan dengan wajah-wajah tradisionalisme  kesenian tradisional yang menyimpan nilai-nilai adiluhug regional. Spiritual dalam lokalitasnya, cenderung  bertentangan dengan dengan modernitas yang mengedepankan rasionalitas’’, ujar Nani suatu kali, usai melatih murid-muridnya.
Sekarang dimana ada hajatan sangat jarang dihiasi dengan seni tradisional. Semenjak organ tunggal memasuki kampung ini, seni tradisional seolah mati suri. Nani seringkali miris menyaksikan generasi muda yang berbondong-bondong menonton organ tunggal. Menyaksikan biduan-biduan seksi meliuk-liuk diatas pentas.
            Usia Nani memang baru 23 tahun. Usia yang cukup muda untuk memiliki jiwa kulturalisme yang tinggi. Memiliki keinginan yang mungkin hanya dimiliki oleh satu orang saja dari seribu orang generasi muda di dunia. Pernah ia ditawari bekerja sebagai Suvenir di kota oleh sahabatnya Hanum, kawan sesama menari dulu. Lebaran kemaren ia pulang dengan mobil sedan mewah. Namun ada satu hal yang berubah dari sahabatnya itu, yaitu cara berpakaian nya yang cendrung lebih terbuka. Konon kata tetangga-tetangganya, Hanum bukan bekerja sebagai suvenir , melainkan sebagai penyanyi diskotik dan penari di club malam. Penawaran itu ditolak Nani mentah-mentah. Setidaknya untuk sekarang ia merasa lebih beruntung dari pada hanum, masih punya moral dan harga diri.
*
            Malam itu lampion-lampion terpajang dan menyala dimana-mana. Jutaan pemuda ramai memenuhi ruas jalan. Aroma miras tercium setiap kali Nani melewati kerumunan orang-orang yang terbius dunia malam. Musik Disco, Gangnam style dan Harlem shake menambah erotisme pesta mereka. Mereka semua menari sambil memegang botol-botol miras. Gerakan mereka liar , bahkan ada yang serupa orang kerasukan. Lelaki dan perempuan bercampur baur dalam aroma bejat yang membius. Nani terus berjalan sendirian. Menerobos kerumunan yang semakin sesak. Jutaan pasang mata memandang kerahnya. Ia kemudian memilih jalan lain sebelum diajak berbaur dengan mereka. Kali ini jalan yang ia lalui penuh belukar. Jalan setapak yang sangat ia kenali. Sepanjang jalan nyaris tak seorangpun ia temui, selain kabut hitam dan ilalang-ilalang yang berdiri setinggi mata kaki. Akhirnya sampai  juga ia pada sebuah bangunan kayu, berlantai bambu. Ah, disinilah ia biasa latihan menari bersama teman-temannya. Tempat yang dindingnya retak, dan atap setengah runtuh. Botol-botol vodka dan wiski berserakan. Gelas-gelas yang pecah serta pakaian-pakaian dalam manusia benggantung di dinding-dinding. Sebuah type recorder terdengar menyala, memainkan irama Harlem shake.
            Dalam suasana hati yang bergulung-gulung terdengar  suara seorang wanita begitu keras memanggil namanya. Ia putar pandangan, namun hanya kabut pekat yang ia lihat, mengambang diremang cahaya. Sebelum sempat melangkah pergi, sebuah tangan menyentuh pundak kirinya. Ia menoleh. Kerongkongannya tercekat. Seorang wanita berambut acak-acakan mirip bibinya berdiri dihadapannya. Tanpa berkata sepatah katapun sebilah pisau ditangan kiri wanita itu melayang cepat kearah wajah nani.
‘’Nani... Nani... kau kenapa Nani’’? wanita setengah baya itu terus menguncang tubuh Nani yang dipenuhi keringat dan nafas berhembus tak beraturan. Nani membuka mata. Ia melihat sosok  wanita yang tampak cemas ketakutan.
‘’kau bermimpi buruk?’’ ujar bibi sambil terus mengusap lembut punggung Nani. Terasa nafasnya belum stabil. Langit tampak gelap. Ternyata ia sudah dua jam tertidur di sanggar karena kecaian usai mengajar murid-muridnya. Untung ada bibi, kalau tidak mungkin ia telah mati sia-sia dalam mimpinya. ‘’Mimpi yang aneh, namun terlihat begitu nyata’’, ujarnya dalam hati.
*
            Setahun sudah grup tarinya bubar, namun ia belum memberi jawaban tentang keinginan paman Harun yang menginginkannya bekerja dikota. Nani merasa sedang diadili oleh nasib. Kursus tarinyapun sekarang terancam bubar. Disebabkan alasan-alasan yang berbeda dari murid-muridnya. Ada yang beralasan les privat, dan ada juga yang beralasan harus menolong orang tua kesawah dan berladang.
Saban petang, sebelum matahari tergelincir dibarat, Nani masih setia menyusuri jalan setapak, melintasi rimbunan ilalang yang makin meninggi, untuk kemudian tiba disebuah bangunan berlantai bambu. Bangunan yang selalu mengingatkannya dengan gendang-gendang yang ditabuh, atau tepuk tangan Wiwit, Hanum dan Helia yang memuji kehebatan gerakan tarinya. Kemudian dalam keheningan ia pejamkan mata. Ia biarkan angin-angin lembut membelai rambut dan melambungkan angan kemasa silam. Tanpa ia sadari tangan dan kakinya telah bergerak. Menari, mengikuti irama sendu angin. Sekarang gerakan yang ia mainkan adalah gerakan-gerakan kerinduan dan harapan. Kerinduan akan kawan-kawan lamanya sesama menari dulu. Dan harapan untuk terus menari walaupun tanpa orang lain. Ia akan terus menari meski hanya teruntuk dirinya, dan teruntuk Tuhan yang masih setia merawat mimpi-mimpinya.


Padang, 24 April 2013

Senin, 18 Agustus 2014

CERPEN FIRMAN NOFEKI DI PADANG EKSPRES MINGGU 10 JULI.................................





POS BARZAH

Hujan baru saja reda.Tinggal sisa gerimis kecil dan bau lembab udara yang menempel berbentuk bulatan Kristal di kaca jendela asrama. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30 Wib. Ternyata aku sudah tertidur dua jam lebih. Samar-samar ku lihat Mila masih asyik menulis di meja belajarnya.
‘’belum tidur Mil’’? sapaku, disertai uapan panjang pertanda kantuk masih menjalari seluruh tubuhku. Mila agak kaget dengan sapaan ku yang datang tiba-tiba.‘’belum Din, aku belum ngantuk’’.Tanpa menghiraukan aku lagi dia melanjutkan kembali kegitan menulisnya. ‘’mungkin dia sedang menyelesaikan tugasnya’’,fikirku dalam hati. Seraya kuhenyakkan kembali tubuhku ke kasur. Perlahan aku kembali lelap dalam pangkuan malam.
*

Seminggu semenjak kematian ayah nya Mila tampak jauh berubah.Mila yang dulu penuh canda dan tawa kini tampak sering muram dengan wajah yang kadang memburatkan kesedihan begitu mendalam.Bukan hanya aku yang merasakan,seluruh santri, para kiai dan guru-guru pun merasakan hal yang sama.
‘’aku nggak kuat din, kenapa ini terjadi begitu cepat? kenapa ayah mesti pergi disaat kami masih membutuhkan kasih saying nya. Adik-adikku masih kecil,siapa yang akan membiayai sekolah mereka ? belum lagi aku yang sebentar lagi akan menempuh ujian akhir. Begitu banyak biaya  yang harus dikeluarkan.Kalau begini aku lebih baik berhenti sekolah saja din’’, ucap mila sehari setelah kematian ayah nya.Itu begitu membuatnya putus asa dan terpukul.
‘’istighfar mil,istighfar. Laayukallifullahu nafsan illawus’aha.Ingat mil, Allah tidak akan membebani hamba nya diluar batas kempuan hamba nya. Allah sudah mengatur jalan hidup manusia, kalau dia berkehendak tidak ada yang tidak mungkin’’, tegasku sambil mengusap pundak mila.Kurasakan nafasnya naik turun,bersamaan dengan isakan dan air mata yang tidak berhenti mengalir membasahi pipi nya.
*
Sejak sa’at itu,aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tengah malam dia sering menulis. Entah apa yang ditulisnya. Ku hanya berfikiran kalau dia sedang menyelesaikan pekerjaan rumah untuk esok pagi.
Pernah suatu kali, ketika asrama sudah begitu sepi, semua santri sudah lelap tertidur. Aku bangun hendak melaksanakan shalat tahajud. Tanpa sengaja aku melewati meja belajar mila.Selembar  kertas tampak terhimpit pada siku kanan nya. Seraya fikiran dan perasaan ku dilanda  rasa penasaran. Apa gerangan yang ditulis sahabat ku ini. Dengan hati-hati, kusingkirkan siku yang menghimpit kertas kecil itu. Dengan jantung berdebar kubaca kata demi katanya:

‘’kepada penghuni barzah yang tercinta: Syamsul Huda
Assalamu’alaikum pak, bagaimana kabar bapak disana? Mila harap bapak sehat wal ’afiat selalu dan berada dalam naungan nikmat dan rahmat-Nya. Pak,kenapa bapak pergi tanpa memberitahu mila terlebih dahulu? Apa bapak tidak sayang lagi sama mila,ibu dan adik-adik?  Kami merasa tak punya arah dan tujuan sejak bapak pergi. Kalau berkenaan, izinkan mila ikut dengan bapak. Mila sudah tidak tahan dilanda rasa hampa dan putus asa’’…..
masyaAllah…. Belum sempat kuselesaikan membaca,hatiku bergetar hebat. ‘’begitu putus asanya engkau wahai sahabatku’’.Tak terasa air mataku mengalir. Tetes demi tetes membasahi kertas kecil yang sedari tadi kupegangi. Kuletakkan kertas itu lagi dibawah siku kanan mila. Usai tahajud kulanjutkan tidurku dengan air mata masih berlinang.

‘’din, seandainya didunia ini ada pos barzah, aku pasti setiap hari bisa surat menyurat dengan bapak dialam sana’’, ucap mila sewaktu jam pelajaran ilmu hadist berlansung. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan mila. Aku tau dia sekarang hanya berhalusinasi. Sebentar kupandangi wajahnya tanpak begitu pucat. Tatapan matanya menerawang entah kemana.
‘’mil, mukamu kok pucat? Kamu sakit ya?, tanyaku sambil kurasakan tangannyabegitu dingin. Dia hanya membalas dengan gelengan kepala. Hingga akhirnya dia meminta izin kepada ustadz yang mengajar siang itu dengan alasan sakit perut.
Detik demi detik berlalu. Menit pun sudah tak terhitung yang terlewatkan.Beberapa menit lagi jam pelajaran siang itu usai. Tapi mila belum jua kembali. Hatiku dilanda gelisah tak menentu.Ada apa dengan dirinya. ‘’apa perutnya benar-benar sakit dan sekarang sedang di UKS? ,ujar batinku.
Rasa gelisah berkecamuk bersamaan dengan suara ribut diluar kelas. Suara itu sepertinya berasal dari WC santri perempuan.
‘’tolong..ada yang bunuh diri disini‘‘
kudengar suara teriakan. Hatiku tersentak kaget. Segala kecemasan serasa memenuhi seluruh persendian tubuhku
’mila’’, tiba-tiba nama itu terngiang difikiranku. Aku pun takut untuk memastikannya. Tanpa menunda waktu lagi kuberlari menuju sumber suara. Seketika, ‘’innalillahiwainnailaihi raaji’uun’’.. jantungku seakan berhenti berdetak. Kusaksikan mila terkulai lemah dalam pangkuan seorang santriwati. Bibirnya membiru. Pergelangan tangannya tanpak sobek. Cairan merah segar tak berhenti mengalir. Air mataku tumpah, kepalaku pusing, ribuan belati tajam menancap ulu hatiku.
Mila pun dibawa ke RSUD setempat. Namun sayang, dia kehabisan darah dan tak bisa lagi diselamatkan.
Ternyata pos barzah telah membawa mila menembus dimensi waktu. Pos barzah telah mengabulkan doa sahabatku. Meski dengan jalan seperti ini. Aku hanya berharap semoga Allah menerimamu dengan tenang disisi-Nya .

padang ekspres, 10 07 11

















Minggu, 17 Agustus 2014

MATA AIR AIR MATA

sebuah cerpen Firman Nofeki teruntuk Negeri Sejuta Mujahid : Palestina



MATA AIR    AIR MATA 

                Aku air mata. Setiap kali bani Adam nuzul dari sulbinya, Tuhan menyadukku untuk diberi tahta diatas cawan-cawan hati manusia. Disanalah aku berbaur dengan segala penghuni abstrak lain yang tak terlihat. Kesenangan hidup, luka atas nasib buruk, dan penderitaan yang kejam yang memiliki tahta mereka sendiri-sendiri di kota asing ini. Kota yang pernah purba oleh kesendirian, dan terbakar oleh amarah yang membara.
Aku tak pernah menyangka ada sebuah kota yang hancur seperti ini. Akibat dilanda kebakaran dan bencanakah? Atau ini sebuah kota yang pernah ada ratusan abad yang lalu, dan Ia membawaku mengunjunginya kembali. Tuhan bilang aku memiliki seorang teman disini. Tapi siapa dan dimana ia? Andai Ia tahu, yang ingin aku lakukan adalah segera keluar dari kota ini. Dan kuceritakan pada temanku itu, prihal waktu yang pernah membakar sendiri dikotaku.
Entah sudah berapa lama aku sampai ditempat ini. Tiba-tiba aku merasa tengah berdiri dibibir jurang yang curam. Dan bila sepatah saja terlintas, sa’at itu pula tubuhku meluncur dalam dekapan sang bayu. Menimpal batu-batu runcing, tersungkur dihamparan pasir-pasir.
*

Tel  aviv, 16 maret 

Raungan rem yang diinjak kuat membuat kepala lelaki yang masih tertidur itu tertubruk kekursi depan. Truk berhenti disamping Hadanah. Didepannya menjulang gedung berlantai tiga. Berdiri sebuah plang yang bertuliskan ‘’GEDUNG KEDUTAAN’’. Dev mulai sibuk mengemasi ransel hitamnya yang terbuka. Menyetel kamera digital yang telah dilengkapi ‘’Voice Audio Respons’’ VAR 623 buatan Amerika. Diprogram untuk merekam suara ketika menjepret gambar. Salah satu taktik menjadi agen mata-mata rahasia sewaktu ia latihan militer di Pakistan. Sebuah taktik rahasia yang biasa dipakai CIA ataupun FBI.

‘’kum ya akhi’’, Dev menepuk pundak yasser,membangunkannya. Pemuda itu mengeliat sambil membenarkan arah kacamata yang mulai menyikut hidungnya. Didalam tidur ia bermimpi bergulat dengan anjing-anjing pelacak tentara yang kejam. Ia mencium anyir darah bersimbah didedaunan zaitun. Yasser tersenyum. Devid pun tersenyum. Senyum yang hanya mampu dibaca oleh semilir angin dikotaku.
*

Halaman gedung kedutaan serupa dipenuhi semut-semut hitam berdasi. Pakaian-pakaian mereka, obrolan mereka, tawa mereka, sangat berbeda dengan orang-orang dikotaku, yang hanya bercerita tentang kelaparan, jiwa-jiwa yang mati, dan mata air yang mengering di telaga Al-gharrabi.
Ribuan tentara yang bertugas semakin mempersempit ruas jalan. Lidah-lidah berdecakan mencipta kebisingan. Yasser dan Devid memasuki sebuah ruang oval berlabel ‘’RUANG PERTEMUAN’.  Terlihat beberapa anggota bagian tinggi senat meneliti arsip laporan dari intelligen. Komisi tinggi senat tidak akan memberi ampun bagi mata-mata yang berkeliaran digedung kedutaan. Kepala mereka tentu saja bisa menjadi sasaran empuk senapan.

‘’tenang kawan ! jangan cemas ! ‘’ Dev menepuk pundak Yasser  sewaktu membaca keraguan di kedua matanya.

‘’apa kau yakin misi ini akan berhasil Dev ?’’
Ia hanya tersenyum sembari berdiri kearah jendela. Menyapu pandangan pada asap-asap hitam yang mengepul.

‘’Allah akan selalu bersama hamba-hamba yang berbuat baik dijalan-Nya. Innallaha ma’ana, Allah bersama kita, InsyaAllah.’’

*

Ramallah, 21 maret

                Pemuda itu terus mengeliat dibalik gang-gang pasar kota Ramallah. Dari jauh kudengar mulutnya terus mengerang kesakitan. Sesekali erangan itu berubah kalimat tahlil yang menebarkan semangat jihad para mujahidan yang sedang diincar mulut-mulut bazoka tentara jahanam itu. Pegangan tangan dilutut kirinya semakin kuat menahan aliran darah yang membuat betis putihnya menjadi merah. Algojo jahanam itu sempat melayangkan dua butir peluru kelutut kirinya, ketika ia berlari mencari bantuan keperbatasan al-gharrafa.
                Sementara diudara helikopter-helikopter apache terus memburu. Ledakan demi ledakan menggugurkan dedaunan pohon disampingnya.  Membangunkanku yang telah lama lama terlelap. Baru saja aku berdiri dan hendak keluar, sang bayu mendorongku kembali.
                Asap dan debu mengepul kelangit. Mengakhiri ledakan bercampur teriakan dan jeritan. Meski tidak berada disana, namun aku mampu melihat tubuh-tubuh hancur itu berhamburan dijalanan,  gedung-gedung terbakar yang tinggal sejengkal dengan tanah, pasir-pasir yang mengepul kelangit , batu-batu, jalanan yang menyatu dengan kabut, bahkan ketika ku mendogak keluar langit kotaku demikian kelam.
                para lelaki akan memeluk istri dan anak-anaknya yang tidak lagi bernyawa. Tengkorak-tengkorak pejuang kan menggelinding dijalanan. Sungai al-qasam mengeruh merah, membawa kalimat jihad itu kelaut mediterania.
Pandangannya makin berat menatap senja yang menutupi kota. Dalam hati ia bertanya ‘’kapan senyum itu akan mengembang disini? ‘’ bukan lagi senyum dalam lontaran batu, mesiu dan peluru. Memang selama ini ia tersenyum. Tersenyum ketika anjing-anjing pelacak itu mengoyak tubuh wanita dan anak-anak. Tersenyum ketika roh-roh pendahulu kami terbang ke jannah Azzawajala. Kapan kota ini akan tersenyum melihat anak-anak mereka tidur terlelap. Melihat para pemuda tenang merapatkan shaf di Al-Aqsha. Melihat ibu-ibu menyucikan baju dan membuatkan susu untuk bayi-bayi mereka. Melihat anak-anak bernyanyi Biladi biladi di hadanah. Bermain, tertawa, belajar merangkai kata merdeka untuk palestina.
*

Terowongan, 21 maret

               Seorang laki-laki tengah terengah-engah memopong temannya menuju terowongan. Disibaknya semak-semak yang menutupi jalan. Beberapa orang laki-laki membantu menurunkan Yasser yang terkulai lemah.

‘’hati-hati !’’, ucap Devid sambil menutup pintu terowongan. Udara segar berganti padat dan pengap. Hanya laring-laring kecil tempat silih bergantinya udara. Bau sampah, keringat dan mayat membaur. Devid menutup hidung.

‘’hidup mengendap serupa ulat, mati, dan menjadi bangkai ulat yang kelaparan. Ini rumah sekaligus kuburan. Hidup berdampingan dengan orang-orang yang telah mati. Melihat wajah-wajah mereka tersenyum menyaksikan keindahan syurga. Semua orang pasti akan kembali menjadi tanah bukan?’’ ujar syeikh Ahmad sambil menepuk bahu devid.
Kemanapun kami pergi, keseluruh penjuru sudut kota ini, sindrom kematian itu terus menyusupi dada-dada kami. Kami lebih senang mati seperti ini. Mati dalam keadaan utuh, tenang dan damai. Dari pada mati serupa binatang. Mati dihujami rudal dan peluru. Dan melihat tubuh-tubuh hancur berhamburan. Tidak adakah yang tahu betapa berat arti sebuah kehilangan. Memporak porandakan keharmonisan yang susah payah kami bangun. Melenyapkan nyawa bayi-bayi yang tidak mengerti arti sebuah pertempuran.
Maka ditempat inilah kami membesarkan bayi-bayi kami. Mengajarkan mereka merangkak dalam gelap. Mengajari mereka arti sebuah perdamaian, cara memuji tuhan dan membaca al-qur’an.

 Ya, membaca al-qur’an. Bahkan setiap waktu selalu ada anak-anak kami yang hafal al-qur’an. Rukuk dan sujud bersama, menangis bersama dan berdo’a bersama. Dari pada diluar sana, kami melihat setiap hari kitab-kitab kami dibakar, dan masjid kami merata dengan tanah.
Disini waktu bagi kami hanyalah kegelapan. Tak ada pagi dan siang. Tak ada panas dan hujan. Kami bukan lagi manusia yang terikat dengan matahari. Tentu kami juga merindukan langit, awan-awan dan rerumputan. Merindukan matahari terbit dan tenggelam. Merindukan berdiri diatas kaki kami sendiri.
Disini penglihatan dan pendengaran kami menjadi luar biasa. Setiap sa’at terdengar suara dentingan sendok beradu dengan piring mereka. Suara kran air mereka ketika mandi, suara radio yang mereka setel dan acara televisi yang menyajikan siaran kekejaman mereka. Kami melihat anak-anak mereka berseragam  bersih dan rapi berangkat ke sekolah, sedangkan pakaian anak-anak kami kumuh Karena harus merunduk didalam tanah. Kami melihat lampu-lampu mereka terang menyala, sedangkan kami harus mencuri minyak dari tank-tank baja mereka.''
*

Ramallah, 22 maret

                Sebagian dari orang-orang itu sudah kembali untuk menyelamatkan diri. Sedang aku masih terbaring kaku disini. Sesekali keluar menjenguk angin yang berdesir dihamparan pasir-pasir. Menyaksikan gemintal kabut mengangkat roh-roh mereka. Entah sudah berapa lama aku berjalan sampai kemudian sampai ditempat ini. Sebuah kota yang tinggal puing. Tak ada tanda-tanda bahwa kebahagiaan pernah singgah ke kota ini.
*
                Dua orang laki-laki itu terus menembus belukar. Rumput-rumput liar telah berubah kehitaman akibat debu dari bom-bom asap. Tujuan mereka adalah ujung jalan al-Gharrafa. Untuk mencapainya dibutuhkan jalan kerikil yang menanjak. Sungguh sulit bagi Yasser yang harus berjalan terpincang. Belum lagi ancaman dari tentara biadab yang siap membredel tembakan kearah mereka.
                Sesampainya di perbatasan Raffah, mereka akan menumpang truk bantuan kemanusiaan dari mesir. Kemudian menemui dewan keamanan PBB dan menyerahkan rekaman dokumen penting yang tersimpan di ransel mereka. Membongkar kebohongan mereka dimata media dan dunia.
‘’Apakah kau yakin ini akan aman, Dev ?’’ Yasser yang terpincang-pincang mulai tanpak kelelahan.
‘’Berdo’alah ! mudah-mudahan jiwa kemanusiaan mereka timbul untuk para jurnalis seperti kita’’.
Devid dan Yasser tersenyum bersamaan. Senyum yang hanya mampu dibaca oleh angina dingin di kotaku.
*
                Teriakan jihad menembus kabut, menelusup pemandangan. Bau mesiu dan asap menyatu dengan lemparan batu dan hujaman peluru.
‘’khaibar khaibar ya yahuudd’’.  Yel-yel kebencian mulai terdengar diteriakkan. Helikopter-helikopter Apache mengoperasi udara. Ledakan demi ledakan menyinari kegelapan.
‘’Allahu akbar, jasyu Muhammad saufa yauud’’. Teriakan-teriakan itu beradu dengan suara peluru yang menembus dada mereka. Akupun berlari keluar mendekati tubuh-tubuh lemah yang tersungkur. Namun sayang, aku keburu jatuh menimpal gundukan pasir-pasir. Kemudian aku menemukan sebuah mata air. Warna merah dan pekat seketika membanjiri tubuhku.
*
                Devid dan Yasser memotong jalan kosong al-Gharrafa. Dari arah timur dan selatan dua buah helikopter Apache mengikuti. Bom-bom berjatuhan. Dev dan Yasser memacu langkah sekuat tenaga. Yasser yang terpaksa berlari sambil memegangi lutut kirinya kehilangan keseimbangan. Sekonyong-konyong tubuhnya terjerembab ketengah hamparan pasir-pasir. Dari arah utara dan barat dua buah tank baja mendekat. Namun sayang, Devid yang sudah terpisah jauh tak sempat menarik tangan Yasser. Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya diburu rasa cemas dan takut yang saling beradu. Terlihat dua orang berseragam berbadan tegap keluar , memukul jidat Yasser dengan ekor senapan.  Yasser terjerembab. Akupun berlari dan mengejarnya. Tiba-tiba, ‘’Dor…Dor..Dor..’’ letupan-letupan itu kembali membuatku terjerembab dihamparan pasir-pasir. Dengan lembut kuusap kedua pipi Yasser. Seketika mata air itu kembali memuncrat menggenangi tubuhku. Sebuah mata air yang lain. Bewarna merah, bermuara disekitar tubuhnya.
Dari kejauhan Yasser sempat melambaikan tangan dan tersenyum kepada devid. Sebelum kepala dan dadanya dibredel dengan rentetan peluru.
*
                Jalan lebar dan terbuka mulai terbentang dihadapannya. Sedih, senang dan takut menelan bulat-bulat hati Devid. Dari kejauhan sebuah truk melaju kearah dimana ia berdiri. Dalam hati ia yakin itu sebuah truk kemanusiaan. Devid mencoba melambaikan tangan. Seorang laki-laki mengulurkan tangan keluar, ‘’Dorr’’… sebuah benda bulat tumpul meledak menerkam dadanya. Devid terjerembab. Sebagian tubuhnya menyentuh bidang jalan. Aku pun berlari menuju Devid. Namun terlambat, tubuhku kembali jatuh menyentuh pasir-pasir.
Dua orang berpakaian militer turun. Salah seorang merenggut ransel dari punggung Devid, sebelum dua butir peluru lagi dilesatkan kearah leher dan dadanya. Bus itu kemudian melaju kencang meninggalkan Devid yang sedang diambang syurga.
Seketika mata air itu juga memuncrat disekitar tubuh Devid. Membasahi tubuhku yang masih terjerembab dihamparan pasir-pasir.
                
Ternyata, inilah mata air lain yang dijanjikan oleh Allah sebagai teman untukku. Mata air yang memuncrat dari tubuh mujahid-mujahid kota tua, Palestina. Teman abadi yang akan menjadi saksi untuk mereka para mujahid ini, kelak di syurga.

*

Note
Kum ya akhi : bangun ya saudaraku
Hadanah : taman kanak-kanak
Biladi-biladi : lagu kebangsaan palestina