ANTOLOGI CERPEN REMAJA SUMATERA BARAT '' PERAHU TULIS ''
Judul | Perahu tulis: antologi cerpen remaja Sumatera Barat |
Kontributor | Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat |
Diterbitkan | 2012 |
ISBN | 9790691017, 9789790691018 |
Tebal | 183 halaman |
Penulis : | |||
-LILIN-LILIN KERTAS : FIRMAN NOFEKI | |||
-CINTA BERSEMI DI KLUB TARI : ANNISA LORENZO | |||
-DARI SISI LAIN : ARIANI SYAFITRI RAHADIAN -HIJAU HUTANKU:EVELYN -JUADAH:SRI ANGGENY MARTA FIONA -LENTERA : MAYA ALKANA -MIMPI-MIMPI MIMPI : MENDAYU AMARTA FITRI -POTONGAN YANG HILANG : RIFDA SARI -MUTIARA BUNDA : ABDUL MANAF -PENANTIANKU : RAHMI ELZULFIAH -PERAHU TULIS : WIILIYA META -POHON PINANG : ARIF EFENDI -SEMANGAT DARI SEPOTONG SINGKONG : RISMA OKTAVIA -SEPERCIK CINTA ANDUANG : MENDAYU AMARTA FITRI -SI BINTIAK PEMECAH REKOR : MASYITA PUTRI IMANA -TANPA MELUPAKANMU : IMELGIA |
LILIN-LILIN KERTAS
‘’Apa
yang akan kau fikirkan,ketika kertas dan lilin-lilin ini menyatu’’?
‘’Aku yakin, kertas ini akan menjadi
abu,dan lilin-lilin ini akan lekas mencair tanpa perlu menunggu waktu’’.
Seketika tangan-tangan itu memeluk tubuh
mungilku. Serentak menciumi pipi dan keningku. Kedua pipiku hangat disirami air
mata mereka yang menggelegak bahagia.
Lembaran-lembaran kertas itu menggigil
ditiup angin. Sesekali berhamburan menabrak dinding-dinding kayu. Perlahan
alunan lagu ‘’HAPPY BIRTHDAY’’ mengalun dalam ruangan 4x4 itu.
‘’Jadilah lilin-lilin itu,anakku ! yang
tidak pernah habis sebesar apapun api membakarmu. Jangan kau menjadi kertas !
meskipun kecil api yang membakar, kau akan tetap sirna sebagai abu’’.
Amak memandangku lekat-lekat. Kedua
tangannya kini berada dikedua pipiku. Kemudian kami bertiga berangkulan dalam
tawa bercampur air mata.
Ah… tapi itu dulu kawan. Sebelum
kenagan-kenangan itu sempat kubakar menjadi masa lalu.
*
Hujan
baru saja reda. Tinggal sisa-sisa gerimis kecil, dan bau lembab udara menempel
sebentuk bulatan kristal dikaca jendela
koridor. Kulirik arloji, jam menunjukkan angka 16:30 wib. Dua jam lebih aku
terkurung hujan deras,sendirian di bangku koridor sekolah. Kuhentikan suara harmonika
yang menyayat. Kutatap langit. Senja perlahan menyelimuti kota. Masih bewarna keruh,bukan keemasan.
Masihkah langit menyimpan bubuk hujan, yang siap turun kapan saja. Tanpa terus
berfikir,segera kukejar waktu. Jalanan terasa licin dan berlenyah. Roda sepeda
ontel ini menjerit setiap kali ku percepat putarannya. Usia yang sudah
seperempat abad membuat jari-jarinya mulai mengerut. Sebagian bautnya sudah
longgar,bahkan ada yang tanggal. Warisan dari kakek kepada abah. Dari abah
diwariskan kepadaku. Kelak, jika masih panjang usianya akan kuwariskan lagi
kepada anak-anak dan cucuku. Agar pewarisnya selalu dikenang sepanjang masa.
Diseberang
jalan, anak-anak telah ramai pergi mengaji. Wan Nipah melambai dari jenjang
surau. ‘’ ndak kesurau kau ing’’?
‘’Yo,
sabanta lai’’.
Wan nipah masuk kedalam surau. Biasanya dia
akan mengaji lima
belas menit sebelum adzan dikumandangkan. Senja begitu suram. Begitu buram.
Tapi aku bisa menangkap cahaya dari mata amak,melihat anak semata wayangnya ini
pulang agak terlambat.
‘’Mak sudah siapkan air hangat untuk
mandi,lekaslah’’ !
‘’iya mak’’. Aku mencium tangan amak yang
berbau asap. Berarti amak baru saja dari dapur. Dari balik serambi, telingaku
menangkap alunan melodi khas minang dari saluang abah. Menikmati senja dengan
irama saluang, sambil memandangi hamparan sawah dan gunung-gunung yang berdiri
megah adalah kenikmatan tersendiri bagi abah.
*
‘’Sudahkah
kau beri makan anjing-anjing itu Sum’’? wanita yang acap kali dipanggil Sum itu
terperanjat. Baki yang berisi piring-piring kotor ditangannya hampir jatuh,
pecah berserakan. Kemudian bergegas kebelakang. Dengan wajah gugup dibawanya
dua mangkok makanan anjing,dan ia masukkan kekandangnya. Mak hampir terjerembab
menaiki tangga ketika anjing-anjing itu dengan kerasnya menyalak. Marah karena
jatah makannya terlambat pagi ini.
Kadang,
aku kasihan melihat amak, yang diam-diam membekam air mata dibalik kulit-kulit
tuanya yang mulai keriputan. Seolah kami menjadi kambing hitam dari PHK yang
dialami abah lima
tahun silam. Di PHK dari perusahan marmer milik belanda di Aceh, yang mengalami
kerugian besar akibat tsunami. Seolah menjadi meriam hitam bagi abah. Acap kali
meledak, menggoncang seisi rumah. Kamilah korban yang menelan abu dari ledakan
amarah yang sungguh dahsyat.
Kehidupan kami
berubah 180 derajad. Rumah di aceh dijual. Rumah berukuran 6x4 inilah hasil
dari penjualan itu. Dan dua petak sawah yang yang kini masih tergadai ditangan
Wak Ramlan. Rumah yang tidak secara penuh ditutupi atap. Bila hujan deras
mengguyur,kami terpaksa hidup mengendap-endap dalam semesta yang lembab.
Merayap-rayap dalam gelap. Maklum,listrik memang belum sempat menyentuh kampung
kami. Sering terbayang dalam fikiran untuk kembali hidup berkecukupan. Sering
aku mendengar sendok berdenting menyentuh piring. Decak mulut yang dipenuhi
makanan dan sendawa. Berbincang-bincang sambil menonton televisi. Semua adalah
hayal yang bermedan dalam frustasi.
Dirumah kayu inilah kami hidup dan bernafas.
Bergerak dan beraktivitas. Pada mulanya memang terasa menyiksa. Punggung terasa
pegal bangun di pagi hari, karena harus tidur di atas dipan beralaskan kayu dan
jerami. Meskipun selalu kedinginan,alhamdulillah kami masih bisa makan.
Meskipun kadang Cuma sekali sehari. Hasil pekerjaan amak sebagai petani garapan
tidaklah seberapa. Dengan kebiasaan menyisihkan segenggam beras setiap kali
tanak mampu menjadi penolong ketika beras dalam buntil benar-benar telah habis.
Bila
memang tidak ada yang akan dimakan, amak biasanya akan membacakan sajak
untukku. Kamipun akan terlelap dalam rintihan perut menahan lapar.
Coba
lihat nak,coba lihat
Karung
beras yang menganga disudut lumbung
Dan
periuk kita menggelegak menanak remah harapan
Akan
kau dengar anakku,deraman-deraman nakal disisi lambungmu
Coba
lihat nak
Bara
kehilangan api
Cerobong
kehilangan asap
Buntil-buntil
melapuk dimakan cuaca
Tapi
cukuplah anakku, keringat putihmu yang kau rasai
Dan
dingin jemariku menyentuhmu hingga esok pagi
*
‘’Sudah
kembali abah dari rumah Wak Ramlan itu bah’’?
‘’sudah, Wak Ramlan bilang sudah menyewa
organ tunggal untuk alek anaknya nanti.’’
Suara abah lirih. Matanya cekung lurus
menyapa langit-langit. Dihisapnya cerutu kuat-kuat. Asap-asap putih mengepul di
udara. Berangsur-angsur hilang terbawa angin. Lenyap bersamaan dengan beban
fikiran. Amak hanya terdiam,tidak kuasa lagi menjawab suara putus asa abah.
Kepalanya terus menekur pada kain sarimin ditangannya. Sebentar-sebentar ia
berhenti. Berdiri mendekati jendela. Menembus pandangan melalui kaca yang
sebagian pecah dan retak. Menatap kaki gunung Sago yang menancap kuat hingga ke
ulu hati. Padi-padi merunduk menahan beban. Sebuah serambi kayu disudut rumah
kini bisu. Kedinginan ditempatnya.
*
‘’Minangkabau
tanpa saluang tidak bisa lagi disebut minang. Minang akan hilang,akan tinggal
kabau yang sangat sulit ditusuk hidungnya. Keras. Sama seperti hati orang-orang
minang masa kini,yang tidak pernah lagi tersentuh budaya-budaya minang.’’
Aku teringat percakapan dengan abah
diserambi sebulan lalu. Begitu kuat budaya minang ini mengakar kehatinya. Lebih
kuat lebih kuat dari akar-akar pinus yang menancap dilereng-lereng gunung Sago.
Di
PHK dari perusahan marmer membunuh semangat hidup abah. Lebih banyak mengurung
diri,seperti matahari yang kehilangan timur untuk terbit. Sejak itulah hidupku
dihiasi cerita-cerita yang keluar dari bibirnya. Cerita tentang saluang sebagai
budaya minang yang harus dilestarikan. Kadang-kadang cerita tentang binatang
buruannya yang lari ke arah rimba. Dicabik-cabik sepuluh ekor anjing sekaligus.
Sering terdengar suara piring
dibanting,atau gelas pecah bergeming jika perburuannya gagal.
‘’harusnya abah bekerja,bukannya
menghabiskan waktu untuk berburu yang tidak ada manfaatnya’’.
‘’Jangan kau menceramahiku Sum’’, PLAKK’’
Tempeleng itu meluncur bak roket
berkekuatan 235 Km per jam. Maka akan
terdengar suara pintu dibanting. Tangis amak akan pecah menyapu langit.
Jati
diri abah perlahan muncul semenjak bergabung dengan grup randai Haji Romlan
sebagai pemain saluang. Grup ini begitu tenar dimasyarakat. Tapi Cuma dua
tahun, sebelum organ tunggal memasuki kampung kami. Banyak grup-grup saluang
dan randai mulai gulung tikar. Sekarang, dimana ada perhelatan pasti akan
dihiasi dengan organ tunggal. Penduduk kampung akan membawa anak-anak mereka
untuk menonton.bahkan sampai bergadang hingga larut malam. Yang mereka saksikan
bukanlah musik atau nyanyiannya, tapi artis-artis berpakaian seksi yang
meliuk-liuk di atas pentas. Kalaupun ada acara saluang paling yang akan menonton
hanyalah bapak-bapak tua yang memang hatinya telah melekat dengan saluang.
Biasanya yang masih bersedia memanggil saluang untuk helat hanyalah penduduk
yang ekonomi rendah yang tidak mampu memanggil organ tunggal yang ongkos
sewaannya jutaan. Berbeda dengan saluang yang hanya dihargai tujuh ratus ribu
dari malam sampai pagi. Hasil itupun harus dibagi dengan tujuh orang teman
abah. Situasi itulah yang membuat tawa dirumah ini sering terbenam. Hanya ada
murung. Dingin dan sepi. Semua dibungkus perasaan temaram.
Aku duduk
menjuntai dipinggir serambi. Terlihat rambut putih abah mengkilap tertimpa
cahaya senja. Perlahan abah meniup saluang ditangannya. Irama-irama semesta
mengalun. Suara yang keluar begitu menyedihkan. Menyayat. Tidak menyisakan
ruang kegembiraan untuk selarik senyum yang kurindukan.
*
‘’Bah,
anjing-anjing itu sepertinya sudah kenyang diberi makan. Sedangkan diri abah
sendiri dari tadi sore belum makan’’,ucap amak getir. Dengan wajah sayu ia
berdiri di depan pintu. Angin sepoi mengibas rambut amak yang mulai memutih
satu persatu. Abah memalingkan muka.mengangkat dua mangkok kotor bekas makanan
anjing.
‘’Sudahlah!tidak usah hiraukan abah. Kalian
sajalah yang makan,abah sudah kenyang’’.
Matanya tengadah menatap langit. Mencari
arti kegelapan.
‘’Tapi bah, dari tadi siang kan’’……
‘’Sudah, sudah… abah sudah kenyang. Kau
jangan membantahku sum!’’
Garis kekesalan mulai tampak dari ucapan
abah yang memotong kata-kata amak. Amak terdiam. Ia mengerti, kalau terus
mengajak abah hanya sebuah kebodohan yang akan meledakkan meriam hitam dihati
abah. Hati amak bergemuruh. Hujan dimatanya ingin segera turun, namun
dibekamnya kuat-kuat. Amak kembali ke meja makan dengan tangis yang tertahan. Kami
pun makan tanpa abah. Ada
rasa iba menari-nari disetiap suapan nasi kemulutku.
*
Lebih
dari seminggu, semenjak usahanya gagal menawari mengisi saluang pada acara alek
anak Haji Ramlan abah lebih banyak mengurung diri. Hilir mudik tak karuan.
Kadang-kadang menyendiri diserambi. Pikirannya menerawang entah kemana. Kepuncak
gunung Sago yang menjulang di udara,atau pada kemuning padi yang menunggu musim
panen tiba. Abah tak pernah keluar rumah,kecuali ada teman yang mengajak pergi
berburu. Begitulah, betapapun besar masalah yang dihadapi,ajakan berburu adalah
angin segar yang kembali mengencangkan urat sarafnya. Kalau aku coba bertanya
kenapa abah sangat suka berburu,jawabannya pendek saja,
‘’Kalau tidak berburu kedua anjing ini akan
mati kelaparan.’’
Apalagi kadang diperburuan itu ada diadakan
semacam taruhan. Tentu bagi anjing
mereka yang sanggup mematikan binatang buruan yang akan memenangkannya.
Seperti hari
ini. Wak Ramlan mengajak abah berburu ke ‘’Bukit Rimbo Batu’’. Sebuah bukit
yang di penuhi tumbuhan pinus besar-besar. Rumputnya mencapai lutut orang
dewasa,yang menutupi jurang-jurang terjal disekelilingnya. Batu-batu besar dan
terjal seringkali menjadi ranjau bagi orang-orang yang berjalan di dalamnya. Wak Ramlan berani mengganjal tiga ratus ribu
kalau anjing abah mampu melumpuhkan satu ekor babi. Sepulang dari rumah Wak
Ramlan kemaren wajah abah tampak lebih bahagia. Sepanjang malam hanya berburu
saja ceritanya. Aku dan amak hanya bisa mengurut dada.
*
‘’Woiii….Kandiak gadang lari ka rah rimbo!’’
seorang pemburu berteriak dengan lantangnya,sambil menunjuk ke jalanan kosong
diantara rentetan pinus yang menjulang tinggi di udara.sontak anjing-anjing
mereka dilepaskan. Dengan garang dan liarnya anjing-anjing itu berlari mengilas
rerumputan dan ilalang. Dibelakang, para pemburu dengan ligatnya mengikuti
anjing-anjing mereka. Sorak mereka membahana di udara.
Abah berlari
dengan kencangnya. Nafasnya memburu. Tidak sabar melihat taring
anjing-anjingnya menempel dikulit babi hutan yang kini sedang diburu. Ia
kerahkan sisa tenaga. Keringat membasahi . melunturkan debu-debu kotor
diwajahnya. Kaos tipis yang ia kenakan telah menempel dibadan akibat keringat
yang melekat.
Tapi apa bisa
dikata, kaki abah menabrak sebuah batu besar yang tak kasat mata,karena
ditutupi oleh rerumputan hijau yang tinggi. Tak ayal,tubuh abah terpelanting
tepat dibibir jurang yang tak terlihat oleh ilalang yang menutupi. Hanya
teriakan abah yang terdengar oleh Wak Ramlan yang berada dua puluh meter
dibelakang abah. Suasana di perburuan berubah mencekam. Keringat dingin
mengalir deras,seirama degup jantung yang begitu kencang. Bulu roma ikut
menegang. Beberapa orang mulai mencoba turun ke dalam jurang. Kondisi jurang
yang dalam membuat orang-orang kesulitan. Ditambah lagi belukar yang merambahi
sekeliling jurang.
Langit temaram.
Berubah mendung. Kemudian berubah rintik-rintik air. Suara gemuruh dan
halilintar berpadu loncatan alam. Semakin malam hujan turun semakin tidak
karuan saja. Guruh tak henti berkelakar menggeluti kecemasan.
*
Semburat
sinar fajar menyibak kegelapan yang menyergap alam semalaman. Wajah Wak Ramlan yang
bercerita semakin menegang. Amak bersandar lesu didekat dinding kayu. Dua tetes
bening sudah acap kali ia tepis dengan kerudung putihnya. Akupun hanya mampu
membisu sambil memeluk kedua lutut. Mengatur nafas yang tidak lagi stabil.
Tak lama, seorang pria kurus berlari dengan
tubuh kotor. Ia berdiri didepan pintu. Ia bungkukkan tubuh sambil memegangi
kedua lututnya. Ia mengatakan bahwa jasad abah tidak ditemukan tepat dimana ia
jatuh. Kemungkinan terbesar yang terjadi, tubuh abah telah diterkam binatang
buas,dan diseret entah kemana. Suasana dingin itu berubah erangan panjang dari
amak. Begitu menyayat.
Amak pingsan
selama dua hari. Namun satu hal yang tidak bisa kulupakan, kejadian itu tepat
disa’at usiaku menginjak 17 tahun. Sebuah kado terburuk yang mengajarkanku arti
perih sebuah kehilangan.
Satu bulan,
jasad abah belum jua ditemukan. Entah diamana keberadaannya. Tersangkut
disebuah cabang pohon,atau jatuh kedalam sungai dan hanyut entah kemana. Atau
memang telah dimangsa hewan buas dan dibawa kesarangnya. Apakah abah masih
hidup dan kini sedang barada disuatu tempat. Allahu’alam. Tapi yang jelas aku
telah rela menerimanya. Meski sesekali masih kudengar dipenghujung akhir malam
isak tangis amak, yang menyajakkan bait-bait kehilangan setiap aku tidur
dipangkuannya.
Coba baca nak,coba baca
Berita ayahmu yang jatuh dari ketinggian-
Disebuah akhir malam
Tutup telingamu, dikalau
Dentuman keras itu membuat nafasmu sesak
Dan darahmu deras menggelegak
Agar malam ini,anakku
Amak melihatmu telentang tanpa nyanyian abah
Dan tanpa decitan periuk
Pertanda nasimu masak diperapian
Lalu kami akan sama-sama menangis dalam
kesunyian. Kini saluang bambu itu merenung sendiri kehilangan majikannya. Mulai
melapuk dimakan cuaca.
*
Masih
terdiam. Kupandangi tumpukan-tumpukan kertas berdebu di atas sebuah meja kayu.
Entah apa penyebabnya berdebu. Debu-debu dari jalanankah? Atau akibat telah
lama tersentuh waktu.
Debu kusapu dengan tangan. Disetiap lembar
terdapat coretan-coretan yang sudah tampak kusam. Sesekali kuberdiri kearah
jendela kayu. Menembus pandang pada kabut yang menyekap penglihatan. Menatap
serambi yang bisu,kedinginan ditempatnya.
Mualai kubaca kertas itu lembar demi lembar,
berteman lilin yang menyadap kegelapan. Air mataku meleleh disebuah kertas yang sudah hamper sobek.
Kubaca lagi tulisan itu dalam-dalam.
‘’Jadilah lilin-lilin itu,anakku ! yang
tidak pernah habis sebesar apapun api membakarmu. Jangan kau menjadi kertas !
meskipun kecil api yang membakar, kau akan tetap sirna sebagai abu’’.
Sekarang aku
benar-benar mengerti apa yang akan terjadi ketika kertas dan lilin itu menyatu.
Sebelum kenangan itu benar-benar kubakar menjadi masa lalu.
Selesai
-Cerpen ini dilengkapi dengan puisi ‘’REPORTASE SEBUAH AKHIR
MALAM’’,Karya Firman Nofeki (pengarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar