Judul Buku : Epitaf Arau
Kategori : Buku Puisi
Penerbit : Senikata
Tahun Terbit : April, 2012
Tebal : 300halaman
ISBN : 978-602-9968-5-1
Kategori : Buku Puisi
Penerbit : Senikata
Tahun Terbit : April, 2012
Tebal : 300halaman
ISBN : 978-602-9968-5-1
Membaca puisi pilihan yang ada ada dalam
buku ini seperti kita membaca sejarah dan keindahan Kota Padang yang
terkenal dengan budaya dan sastranya. Kita akan dibawa oleh keindahan
metafor yang tersebar dalam 150 puisi yang tergabung dalam buku ini.
Para penyair seolah hendak menceritakan dan mengungkapkan kebanggaan
juga keluh kesahnya tentang Padang secara kritis melalui keindahan
puisi.
Buku kumpulan puisi setebal 300 halaman
dengan cover yang teduh menggambarkan suatu dermaga yang dihiasi langit
biru cerah menandakan bahwa Padang menjadi salah satu kota menawarkan
keindahan, maka tak heran banyak wisatawan domenstik atau pun wisatawan
asing berlomba-lomba berkunjung kesana. Kesan yang sama juga bisa
dirasakan oleh para penyair nusantara yang tergabung dalam buku ini,
mereka mencoba merekam jejak sejarah,budaya dan keunikan lainnya. Cerita
Malin Kundang, Siti Nurbaya adalah contoh nyata cerita yang melegenda
sehingga banyak penyair yang ingin mencetaknya dalam sebuah sajak yang
penuh keindahan. Sejarah kota tua, keindahan pariwisata atau bahkan
wisata kuliner bisa dijadikan imanjinasi yang apik dalam penggambaran
puisi-puisi yang manis.
Seperti puisi Firman Nofeki, penyair yang puisinya termuat dalam antologi Epitaf Arau berikut ini :
DESAU NYIUR PELABUHAN MUARA
dari pelabuhan muara sampai batang arau
arakan tualangku merapati nostalgia
kunamai rindu purnama dalam gelora siti nurbaya
membesat lambai nyiur, kemudian kucintai bibir angin
mengecupi tali pusar maringgih penuh nafsu
sembunyi dibalik bayang-bayang mitos tujuh anak bajang
berlari dibuai sayup rampai muara
disulut kenangan, rasa rindu jumpalitan
dituding riak panas ruas jalan, menyebrangi hilir gunung
kelelawar mendengus sepanjang perairan
mengalirkan aroma candu nasi kapau
dari rongga nyiur sampai batang arau
makin kupunguti resonasi untung tubuhku
langit memerah, awan-awan menyuguhkan panorama pelabuhan muara
pada semilir batang arau, tempo dulu di minangkabau
desau nyiur meniup payudara-payudara lumbung
melata ditangan belanda, membakar sendi hidup
dioperasi sepanjang pelabuhan hingga ruas jalan
gajah maharam digiling dalam frustasi
meledakkan purnama direntang punggung adat
melibas naga senja dilekung cakrawala
menyeruak dentuman mesiu tahun baru
meratapi petitih syara' yang dirumpangkan
bugil petasan sampai bola mata api
meledak di hulu kaki siti nurbaya
dari pelabuhan muara sampai batang arau
teluk bayur dijejali puntung kemarau
mereguk tangis ombak pantai air manis
membiru dirupa batu malin kundang
dekami sujud seujud roh miskin
purnama menyapu tatanan alis wanita tua
membasuh sumpah serapah beraroma garam lelautan
angin semilir menyapa gladak sampan buana
topan bersiul, merundung tidur kata-kata
nyiur melambai hingga batas parak lengang
lobang batas muara menyelami ekor ganggang caroline
mengartupkan imaji sebatang pohon bakau
kuseduh sepanjang mesiu perjalanan
ah, aku lupa menuruni lubuk minturun
pasir putih pantai jambak akhiri letupan kelam aroma sya'ban
dari keheningan hingga keramaian
mengakhiri panorama pelbuhan muara sehiliran batang arau
tempo dulu diminangkabau
payakumbuh, 03-09-2011
LAGU AIR MATA
: sehari mengunjungi batu malin kundang
aku layaknya batu
mengulur kedurhakaan pada kalam
waktu ini tobatku
merentang sumpah ibu didada bisu
aku layaknya air mata
sepanjang sujud raga, seteguk belasungkawa
mengalir tangis sepanjang pantai air manis
payakumbuh, 04-09-2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar